Dengan tangis yang keras Dhike berlari menjauh dari apartemennya,
sebelumnya Dhike telah menerima kekecewaan dari orang tuanya perihal
pernyataan mengenai adik kandungnya. Namun, dengan kejiwaan yang tidak
baik, Dhike harus menerima kecelakaan saat menyebrang. Melody yang
melihat keadaan Dhike terkapar dijalan membuatnya lemah dan menangis
terus menerus memandanginya.
Beberapa saat kemudian ...
Melody sudah ditemani oleh kedua orang tua Dhike, suasananya hening,
berbagai kecemasan melanda ketiganya dirumah sakit. Ibunya tidak tahan
lagi melihat anaknya mengalami kecelakaan seperti itu, membuatnya
menangis terus menerus. Disebelahnya, Ayahnya berusaha menenangkannya
dengan memegang erat tangannya.
Melody yang mulai merasa bersalah. "Kejadiannya begitu cepat. Akupun tidak bisa mengejarnya saat itu, Aku minta maaf ..."
Ayah Dhike menoleh pada Melody. "Ini bukan salahmu. Tidak ada yang perlu disalahkan, itu hanya sebuah kecelakaan."
Ibunya semakin menangis, justru yang seharusnya disalahkan adalah
dirinya yang sudah memberitahukan fakta bahwa Ayu adalah adik kandung
Dhike saat itu. "Akulah yang seharusnya disalahkan. Aku
memberitahukannya tanpa mengenal situasi. Seharusnya aku tidak
mengatakannya. Aku begitu ingin sekali Dhike mengetahuinya secepat
mungkin."
Ayah Dhike menatap istrinya dari dekat. "Sudah, Sudah. Tidak ada yang
perlu merasa bersalah, Ini semua sudah terjadi. Yang kita butuhkan
hanyalah berdoa semoga keadaan Dhike baik baik saja."
Lantas Ibunya Dhike menoleh pada Melody, Ia ingin tahu lebih dalam apa
yang sudah terjadi pada kedua anaknya, Ayu dan juga Dhike. "Ceritakan
padaku, sebenarnya apa yang sudah terjadi antara Dhike dan Ayu? Dari
kecil mereka selalu senang hidup bersama sama. Bahkan mereka sering
sekali berbagi kamar, aku sungguh tidak mengerti."
Melody pun sedikit kecewa, ia tidak tahu banyak. Namun Melody akan
menjelaskan sepengetahuannya pada Ibunya Dhike saat itu. "Ayu merasa
dirinya hanya akan mengganggu kehidupannya Dhike. Ayu pernah bercerita
padaku, Ia sudah tidak sanggup jika terus mengandalkan Dhike dalam
kehidupannya. Bahkan saat Ayu sakit, Dhike lah yang sudah menjaga dan
merawatnya. Tujuan Ayu meninggalkan Dhike hanya untuk membuat Dhike
menjalani hidup seperti teman temannya yang masing masing mengejar
mimpi, bukan untuk mencemaskan Ayu setiap waktunya."
Ibunya menghela nafas panjang. "Bagaimana bisa anak semumuran dia
berpikir seperti itu. Hidup ini memang harus tolong menolong, lagipula
mereka masih saudara kandung." Ibunya kembali menangis memikirkannya.
"Mengapa aku begitu terlambat memberitahukannya, mungkin Dhike akan
semakin menjaga adiknya sendiri. Akupun mungkin bukan Ibu yang baik
untuk anak anakku, aku tidak bisa merawatnya dengan baik. Aku merasa aku
telah gagal dalam menghidupi keluargaku."
Ayahnya Dhike pasrah mendengar semua keluhan Istrinya barusan. Sebab,
Keluhannya barusan ada benarnya juga, pikirnya. Dhike dipaksa hidup
menyendiri disebuah apartemen hanya untuk menghindar kecanggunggan yang
dimiliki keluarga Ayu dengan keluarganya.
Dokter yang sedang memeriksa kondisi Dhike datang dari ruang UGD.
Semuanya beranjak dari tempat duduknya masing masing, keningnya
terangkat semua hanya untuk menantikan informasi mengenai kondisi Dhike
yang akan diucapkan oleh dokter. Beruntung, ekspresi Dokter saat itu
menunjukkan keceriaan.
"Syukurlah, pendarahan yang diakibatkan kecelakaan itu tidak cukup
parah. Ia masih bisa selamat, namun kondisinya saat ini belum cukup
baik, keadaannya masih terus kami awasi."
Semuanya tersenyum lebar mendengar kabar baik tersebut. "Terima kasih, Dok." Ucap lega Ayah Dhike.
Melody melangkah kearah pintu, matanya yang tampak berkaca kaca mengamati Dhike dari luar.
Sekitar 4 Tahun yang lalu ...
Melody baru saja menginjak bangku SMA, diruang kelas ia hanya
menyendiri, tidak punya teman siapapun untuk mengobrol. Suatu kebetulan,
Dhike datang dengan wajah yang kebinggungan. Saat itu Dhike memang
sedang memilih milih kursi yang akan didudukinya, kemudian matanya
tertuju pada bangku kosong tepat disebelah Melody.
Suasana canggung menyelimuti keduanya, sama sama pendiam dan pemalu. Dan
kemudian secara bersaman mereka serentak bertanya. "Siapa namamu?"
Keduanya tertawa tipis.
"Namaku Dhike ... " Kata Dhike menjawab duluan.
"Kalau aku Melody." Balasnya dengan senyum.
Setelah bertanya mengenai nama masing masing, suasana hening kembali menyelimuti keduanya.
Melody menggigit gigit bibirnya, merasa gelisah sambil memikirkan kira
kira apa yang akan ditanyanya kembali, sebab mereka sebangku, keakraban
memang harus terjalin.
Namun Melody masih belum tahu apa yang akan ditanyanya, kemudian ia
mengeluh. "Sudah hampir jam delapan, tetapi guru masih belum juga
datang."
Dhike hanya terdiam, tidak begitu tertarik dengan keluhan Melody
barusan. Tiba tiba saja perut Melody berbunyi, Ia sadar tadi pagi belum
sempat sarapan. Seketika Melody kehilangan Muka oleh teman barunya itu.
Tanpa basa basi Dhike mengambil bekal dari dalam tasnya.
"Apa kamu belum sarapan?" Tanya Dhike sambil menyodorkan bungkusan
plastik berisi roti. "Ambillah, aku masih punya satu lagi." Tambahnya.
Melody tersipu. "Ah.. tidak usah, aku bisa membeli makanan di kantin
sekolah. Kamu tidak harus menyerahkan bekal makan siangmu padaku."
"Tak apa. Lapar itu sungguh menyulitkanmu dalam belajar. Jika kamu malu makan sendiri, aku juga bisa memakan bagian ku."
"Kalau begitu kita makan sama sama." Kata Melody sambil menyobek
plastik roti tersebut. Melody memotong roti tersebut dengan tangan, dan
kemudian memberikan potongan tadi pada Dhike. Keduanya tersenyum sambil
mengunyah.
"Makasih." Ucap senang Melody.
Mengingat itu, Melody menestakan air matanya sambil memandang Dhike dari
luar pintu kamar rumah sakit. Itu adalah moment berharga bagi Melody
dalam mengenal Dhike pertama kali.
Saat aku melihatmu pertama kali, aku sadar bahwa kamu memang murah
sekali tersenyum. Sampai sekarang pun, kamu masih memikirkan orang lain
dibanding dirimu sendiri. Bahkan dikelas dulu, kamu mahir sekali menjaga
citra hingga pria pria dikelas berlomba lomba mendapatkan hati mu. Aku
masih mengingat semua itu... Aku tidak akan pernah tenang jika melihatmu
selalu menderita seperti itu, kamu pernah bilang padaku untuk bersama
sama mengejar mimpi yang sama denganku. Aku harap, kamu bisa mengejarnya
...
Usianya masih cukup muda, tetapi semangat untuk bisa meraih
kesuksesan sungguh besar. Latarbelakang keluarganya pun tidak terlalu
baik, Pendidikannya pun sempat terhenti saat SMP, begitulah kehidupan
Ronald, teman dekat Melody saat masih SMP. Beruntung, Ronald bisa
mendapatkan sedikit masukan berupa modal dari temannya yang bernama
Melody, bagaimanapun Melody tidak suka jika melihat temannya menderita.
Ronald membuka sebuah Restoran kecil yang ia kontrak disekitar gedung
Pelangi Entertainment. Sudah 3 hari setelah Restoran tersebut dibuka,
sungguh ramai. Hari itu adalah hari yang ditunggu tunggu Ronald, Ia akan
memperlihatkan usaha pertamanya pada Rica.
Rica datang dengan wajah kagumnya memandangi Restoran dari luar,
terlihat ramai. Dengan tergesa gesa Rica berjalan masuk kedalam untuk
menemui pemilik restoran tersebut.
Ronald tersenyum memandangi Rica dari kejauhan. "Kamu sudah datang. Duduklah."
Rica mendecak kagum. "Lihatlah dirimu, Kamu sungguh hebat."
"Ini semua berkat dirimu. Kamu pernah bilang bahwa aku pintar memasak, jadi aku membuka usaha ini."
"Aku mengatakannya sungguh sungguh, masakanmu memang tidak kalah
enaknya dengan Ibuku. Apakah Ibuku boleh bekerja disini?" Candanya
sambil tertawa.
"Tentu" Balasnya.
Mereka berdua tertawa. Kedua mata Rica menyapu seisi ruang restoran.
"Wah, wah, wah. Lihatlah berapa banyak pegawaimu, aku benar benar tidak
percaya suasana seperti ini terjadi padamu. Aku sungguh senang."
Ronald tersenyum. "Ini semua berkat Melody dan juga dukungan darimu."
Rica mendengus. "Gadis itu ... Apa dia menyukaimu?" Tukasnya.
Ronald mendadak terkejut dengan tuduhan Rica barusan. "Ya? Mana mungkin
dia menyukaiku. Aku dan dia hanya teman biasa. Dia sungguh baik pada
semua orang."
"Entahlah tuduhan barusan benar atau salah. Tapi yang pasti untuk
membuka restoran sebesar ini membutuhkan uang yang tidak sedikit. Gadis
itu bukan saudara atau pacarmu, bagaimana mungkin dia rela membantumu
sampai sejauh ini." Kata Rica berpendapat.
"Dia tidak memberiku, tapi meminjamkanku." Balas Ronald memperjelas.
Rica mengganti topik, Ia menjadi mengingat masa lalunya dengan Ronald.
"Waktu berjalan begitu cepat. Aku masih ingat saat saat kita dulu.
Begitu pengap kehidupan masa lalu, kita bahkan pernah direndahkan dan
diinjak. Begitu banyak orang orang yang menilai kepribadian melalui
harta. Yang tidak punya apa apa hanya bisa diludahi, betapa kejamnya
dunia ini."
Ronald menghela nafas panjang dan sedikit merasa kecewa pada dirinya
sendiri. "Aku tidak ingin mengingat masa pahit itu. Demi menghilangkan
rasa lapar aku bahkan pernah mencuri. Dari pagi hingga sore kerjaku
hanya menyikat kapal, aku merasa kehidupanku sudah buntu saat itu."
"Walau hidupku sudah lebih dari cukup, tapi aku tetap tidak bisa
merasakan ketenangan hidup. Mereka tetap memandangku sebagai gadis
miskin yang hina. Mereka tidak pernah mau memandangku sebagai gadis yang
mempunyai bakat. Maka dari itu aku ingin sekali terbang tinggi melebihi
mereka semua, agar mereka bisa mengerti bahwa bakat tidak bisa
disamakan dengan harta."
"Apakah bersandiwara didepan kamera itu mengasikkan?" Tanya Ronald.
"Menurutmu?" Balik Rica bertanya.
"Aku lihat kamu sangat menikmatinya. Dari berbagai Film yang sudah
kamu peranin, semuanya terlihat hebat. huh, aku ingin sekali masuk Tv.
Oya, Jika ada adegan yang mengambil gambar disebuah restoran, kamu
rekomendasikan saja restoran ini." Ronal nyengir.
Rica mendecak. "Iya, Iya."
Seorang pelayan tiba tiba saja datang sambil membawakan beberapa
makanan, ditaruhnya makanan tersebut ditempat Rica mengobrol dengan
Ronald. Rica keheranan.
"Apa ini? aku tidak memesan apa apa."
"Makanlah, tidak baik jika sudah berkunjung ke restoranku tidak mencicipi apa apa."
Rica tersenyum dan segera menyantap hidangan tersebut dengan lahap.
"Hebat! Soto buatanmu memang enak, sudah lama aku tidak memakan hidangan
seperti ini."
"Jika aku memakan soto buatanmu, aku selalu teringat tentang adikmu.
Dia begitu menyukai semua makanan yang dibuat olehmu. Bagaimana
kabarnya?"
Ronald terdiam sejenak. "Mungkin saat ini dia sudah menginjak bangku
SMA. Aku pun sungguh rindu dengannya. Hanya karena aku tidak sanggup
membiayai sekolahnya, aku menaruhnya disebuah panti asuhan. Aku tidak
mau jika adikku besar dia akan jadi sepertiku, setidaknya dia harus
meluluskan sekolah SMA nya."
Rica menggangguk. "Benar! Akhir akhir ini sungguh sulit untuk
mendapatkan pekerjaan jika tidak mempunyai pendidikan yang tinggi. Tapi
bukan berarti kamu mengacuhkan adikkmu, ajak dia untuk jalan bersama
atau mungkin menemuiku. Aku pun sungguh rindu dengannya."
Ronald menggangguk senyum. "Baiklah ..."
Malam itu Ayu tidak terlihat baik baik saja didepan halaman rumahnya.
Yang ada dipikirannya hanyalah kesedihan serta penderitaan. Berulang
ulang Ayu ingin sekali memulai hidup baru, tetapi sungguh sulit
menghilangkan kenangan yang telah dilaluinya, itulah yang membuatnya
merasa frustasi. Malam adalah waktu yang tepat untuk memutar balik
kenangan dipikiran. Walau Ayu terlihat tegar disiang hari, namun ketika
malam tiba Ayu benar benar menjadi wanita yang lemah.
Wajahnya menghadap langit, namun yang ada digambaran matanya hanyalah
kegelapan. Kedua matanya pun mulai meneteskan air berisi penderitaan
yang kuat.
"Mengapa aku masih tetap hidup hingga kini? Kenapa aku harus
menjalani hidup yang sulit ini? Apa yang aku lakukan selalu berakhir
tragis. Aku sudah berusaha sebisa mungkin tetapi ... tetap saja ...
seperti ini. Kini aku bukan lagi wanita sempurna yang di idam idamkan
semua orang. Kebutaan ini membuat aku tidak bisa melanjutkan hidup
seperti biasanya. Impian, cita cita dan juga harapanku semua sirna.
Semuanya sudah tidak berarti apa apa!"
Ayu menangis dengan wajah menghadap langit.
"Berhentilah terus mengeluh seperti itu!" Teriak seseorang.
Ayu mendelik seraya meembalikkan wajahnya ke sumber suara. Ia keheranan
siapa yang sudah mencampuri omongannya barusan, namun Ayu tidak bisa
melihatnya. Wanita itu adalah Sendy. Sendy langsung mendekap pada tubuh
Ayu.
"Ini aku ..." Bisiknya ke telinga Ayu.
Ayu mengetahui suaranya. "Kak Sendy?" Duganya.
Sendy melepas dekapannya dan menatap Ayu dengan rasa prihatin yang
dalam. "Mengapa kamu menjalani hidup seperti ini? kamu masih punya
banyak orang yang peduli terhadapmu. Apa gunanya kami semua dimatamu?
Tidak ada yang tidak mencemaskan keadaanmu. Semua begitu memikirkanmu,
Aku begitu kecewa. Saat pertama kali kita bertemu, aku kira kamu orang
yang selalu ceria. Setiap kali aku melihat senyumanmu, keceriaan
mengalir dalam tubuhku, seakan akan kamu telah menghipnotis semua orang
untuk tidak bersedih. Namun ..."
"Tolong hentikan, kak." Potong Ayu.
Ayu tertegun dengan mata yang berkaca kaca. "Maafkan aku. Aku sudah
tidak kuat mengalami ini semua. Aku juga ingin seperti kalian, tetapi
dengan keadaanku yang sekarang aku hanyalah wanita yang tanpa harapan
apapun. Setiap aku berusaha bersikap tegar, tapi tetap saja tubuh ini
selalu remuk dengan penderitaan ini. Yang aku lakukan hanya merepotkan
keberadaan orang lain, aku selalu saja membuat cemas orang lain."
"Namun kali ini kamu harus mencemaskan Dhike, Ia kecelakaan. Temannya
yang bernama Melody meneleponku, katanya Ia ingin aku mencari
keberadaanmu. Cepatlah kembali."
Tubuh Ayu bergetar lemas mendengar ucapan Sendy barusan. "Apa yang barusan kakak katakan?" Ucapnya masih tidak percaya.
"Benar. Dhike kecelakaan saat menyebrang, sekarang Ia masih ada
dirumah sakit. Mungkin kehadiranmu saat ini akan membuat Dhike merasa
baikan."
"Lalu bagaimana dengan keadaannya?"
"Ia hanya mengalami luka memar serta pendarahan. Aku mohon, kembalillah dan temui Dhike dirumah sakit."
Ayu malah menangis keras. Emosinya tiba tiba saja meluap, Ayu menjadi
merasa serba salah dan terbebani oleh penyakit kebutaannya. Ayu memang
merasa prihatin dan sungguh mencemaskan Dhike, namun dirinya tidak
berani menemuinya.
"Aku tidak akan menemuinya, meskipun dia sedang sekarat." Katanya dengan emosi yang kuat.
Sendy membelalak terheran heran, bagaimanapun Dhike adalah teman baik Ayu, itulah yang diketahui Sendy saat ini.
"Mengapa?" Tanyanya singkat.
Ayu kembali menangis. "Kakak adalah orang yang sungguh lemah, Ia orang
yang paling tidak bisa melihat penderitaan temannya. Dikeadaanku yang
sekarang, mungkin kakak akan menangis keras jika melihatku. Sebelum
kebutaanku menyerang, kak Dhike sudah berjanji untuk mengajakku berjalan
jalan mengelilingi dunia hanya untuk melihat keindahan alam yang
terbentang, namun aku tidak bisa menepati janji itu. Walaupun kakak bisa
mengajakku kapan saja, tapi aku sudah tidak bisa melihat. Aku mungkin
sudah tidak bisa melihat senyum kakak dan juga kalian. Maafkan aku ...
Aku tidak berani menemuinya."
Sendy tertegun sejenak, kemudian ia memegang pundak Ayu dan menatapnya
kuat. "Jangan berfikir seolah olah kamu mengerti perasaannya. Jangan
melihat situasi dari sisinya saja, tolonglah mengerti juga perasaan
Dhike yang sungguh memikirkan keadaanmu. Tiap harinya Ia selalu bertanya
padaku mengenai keberadaanmu. Hari ini adalah hari ulang tahunnya, apa
kamu tidak mengingatnya? Yang ditunggu dihari ulang tahunnya hanyalah
kamu, mungkin baginya hadiah teristimewanya adalah kehadiranmu, namun
kamu sama sekali tidak bisa menebak itu semua. Jika kamu menyanyanginya,
temuilah dia."
Ayu menelan rasa keserba salahannya dengan susah payah.
Walau aku mencoba menjauh dari sisi kakak, mengapa kakak masih memikirkan keberadaanku.
Bagaimana aku bisa melepas kesedihan ini jika kakak terus mencemaskan aku.
Apakah benar hadiah istimewanya adalah kehadiranku?
BERSAMBUNG.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar