Sesuatu yang
sudah dialami terus menerus membuat seseorang menjadi terbiasa,
begitupun dengan apa yang dialami oleh Ayu. Ia hanya bisa termenung,
tidak sanggup lagi mengeluh. Yang bisa Ayu lakukan hanya menangisi
kepahitan hidupnya. Ayu menangis tesedu sedu di puncak apartemennya.
Air matanya terus mengalir perlahan hingga lehernya, sesekali ia
menghapus air mata tersebut, namun itu akan muncul dan lagi. Ayu
mengepal kuat kedua tanganya, Matanya sungguh membara kuat, ia memukul
mukul dadanya dengan keras, terus dan terus.
Ayu merasa
putus asa untuk bisa hidup didunia ini. Keharmonisan keluarganya tidak
cukup baik, ia sendiri, berbagai cobaan terus menimpanya, dan bahkan
Ibunya mengacuhkan keberadaannya. Keburukan apa lagi yang akan ia
terima? Ayu sempat berfikir, lebih baik hidup kumuh, sengsara, dan hidup
menyedihkan, namun memiliki keluarga yang terikat kuat.
Ayu merasa
tersesak, terikat kuat erat oleh tali kesengsaraan. Ia ingin melepas itu
semua, dan hidup bahagia seperti layaknya keluarga pada umumnya. Dhike
datang dengan nafas yang pengap, ia melihat Ayu yang duduk dilantai
dengan kedua kaki melipat kebelakang. Dhike menghampiri Ayu perlahan.
"Ada apa?" Tanyannya dengan lembut.
"Ciko mati." Sahutnya dengan nada yang lemah.
Dhike menghela
nafas, ternyata hanya kelinci peliharaan Ayu yang mati, Dhike pikir ini
mengenai penyakit Ayu. Dhike merasa lega. Dhike membangunkan Ayu dari
tumpuannya, ditatapnya matanya.
"Aku sungguh mengkhawatirkanmu. Tiap hari, tiap jam, tidak pernah lepas untuk memikirkan keadaanmu. Aku sungguh takut..."
Ayu memotong pembicaraan Dhike. "Kalau begitu tinggalkan aku sendiri."
"Jauhi
diriku sejauh mungkin, dan hiduplah dengan menggapai mimpi seperti orang
orang diluar sana. Itukah yang kakak mau?" Tambah Ayu dengan nada yang
tinggi.
Dhike memelotot
kesal. "Sadarlah! Siapa yang selama ini sudah merawatmu dan menjagamu
dengan baik. Lantas, kamu dengan mudahnya berkata seperti itu?
'Tinggalkan aku sendiri?' itu yang kamu mau? Aku berharap penuh bahwa
kamu juga bisa hidup seperti anak anak yang ceria diluar sana. Aku tidak
sanggup jika melihatmu menangis karena terus memikirkan kepedihanmu.
Aku ... aku bahkan rela meninggalkan impian yang aku idam idamkan hanya
demi menemanimu. Aku sengaja tidak meneruskan pendidikan ku ke perguruan
tinggi hanya demi merawatmu. Aku merasa hidupku sudah seperti debu yang
tidak berarti apa apa."
Seketika Ayu
menjadi menyesal, Ayu menangis keras. Tidak ada yang bisa Ayu berikan
pada Dhike setelah apa yang sudah Dhike berikan pada Ayu. Ayu menunduk
tersedu sedu. Dhike tampak berkaca kaca memandangi anak malang
tersebut, Ia berjalan menghampirinya, dan mendekapnya erat.
"Maaf kalau aku sudah membentakmu." kata Dhike menyesal.
Ayu membalas. "Tak apa. Aku memang pantas menerima omongan itu agar aku bisa mengerti. Terima kasih untuk segala galanya."
"Aku tidak
pernah merasa menyesal melakukan itu semua untukmu. Aku tulus. Dan aku
akan selalu menemanimu melewati hari hari esok bersama."
Dhike menuntun
Ayu kembali kedalam apartemen miliknya. Ia menempatkan Ayu diranjang
kamarnya. Dhike berjalan untuk mengambil segelas air putih. Ayu melihat
lihat sekeliling kamar, Ia merasa kamar Dhike tidak ada bedanya dengan
kamar miliknya, sungguh sepi. Tidak sengaja kedua bola matanya mengarah
pada sebuah boneka kelinci yang pernah dirinya berikan pada Dhike waktu
itu. Ayu menghampiri boneka yang terletak diatas lemari kecil sebelah
ranjang, ditatapnya boneka itu sungguh sungguh. Diwaktu yang sama Dhike
datang sambil membawa segelas air putih yang akan diberikan pada Ayu.
Ayu meneguknya hingga tetes yang terakhir.
"Kakak merawat boneka ini dengan baik." Kata Ayu sambil manaruh gelas kosong dimeja.
"Aku tidak pernah mengabaikan barang pemberian darimu. Semuanya aku rawat dan simpan baik baik."Jawabnya.
"Ruangan ini
sungguh sepi, sama seperti kamarku. Disaat aku sakit, Ibuku bahkan
jarang menemaniku. Itu sungguh membuat aku kesepian. Tidak banyak hal
yang bisa aku lakukan. Kesepian membuat orang terus memikirkan
kehidupanya, frustrasi, ber-angan angan yang tidak jelas, dan akan
berakhir tidak waras."
"Akupun merasakan hal yang sama." Ucap Dhike singkat.
"Aku
mempunyai keinginan untuk mengelilingi dunia, melihat keindahan alam
yang terbentang luas. Aku harap aku bisa meraih mimpi itu."
"Kamu pasti bisa." Kata Dhike membuat Ayu untuk tidak frustrasi.
Ayu menoleh pada Dhike. "Untuk sekarang ini, apa yang kakak keluhkan pada dunia?"
"Aku rasa,
aku adalah orang yang tidak bisa hidup tanpa cinta. Aku tidak tegaan,
aku selalu saja mengasihani orang yang bahkan bisa dikatakan sebagai
musuhku. Maka dari itu, aku selalu merasa bahwa aku sungguh lemah."
keluhnya.
Ayu membalas.
"Orang yang benar benar terlihat kuat pasti akan lemah dengan Cinta.
Didunia ini, tidak ada orang yang bahagia tanpa memiliki rasa Cinta.
Akupun begitu ambruk setiap aku tahu bahwa ada yang membenciku. Dan aku
akan senang jika ada orang yang benar benar tulus mau berteman
denganku."
Ayu menambahkan. "Aku hanya ingin memiliki kehidupan yang lebih baik. Dimana tidak ada rasa dendam, benci maupun iri."
Dhike terdiam termenung. Ia merasakan begitu besar rasa frustrasi yang dimiliki oleh Ayu.
***
Tengah malam
itu Melody bersama dengan Adiknya, Frieska, sedang bersama sama dikamar.
Melody tengah asik membaca novel, sedangkan Frieska berguling guling
gelisah diatas kasurnya, menggeliat. Frieska selalu merasa penasaran
dengan apa yang dimiliki oleh kakaknya.
"Kakak." Katanya sambil menarik buku yang sedang kakaknya baca.
Melody sedikit jengkel, lagi asik asiknya membaca malah diganggu. "Kenapa?"
"Mempunyai banyak penggemar dan dikagumi banyak orang, apa yang kakak rasakan?"
"Puas." Sahut Melody singkat.
"Kenapa?"
"Karena kakak sudah mencapai tujuan, yakni membuat mereka terhibur."
"Tetapi kalau dipikir pikir, dunia hiburan sungguh menyeramkan. Aku takut akan terjadi hal yang menyebabkan kakak terluka."
Melody menoleh pada Frieska, wajahnya agak binggung. "Maksudmu?"
"Para
Haters! Mereka ada dimana mana, mereka mempunyai banyak tujuan, selain
menjatuhkan sang Idola, mereka pun bisa menyakiti dari segi fisik." Kata
Frieska dengan wajah yang serius.
"Kenapa kamu tiba tiba membahas hal itu?" Balik tanya Melody.
Frieska
mendadak lemah, menghela nafas panjang. "Aku sebagai saudara tentu akan
mencemaskan hal itu, adik mana yang tega melihat kakaknya menderita.
Lagipula, kakak sudah berbuat banyak hal baik padaku. Aku bahkan belum
bisa membalasnya."
Melody
terbahak, merasa geli akan omongan adiknya barusan. "Sejak kapan kamu
mencemaskan aku? Yang aku tahu kamu selalu mengeluh meminta bikinin ini,
bikinin itu. Kamu bahkan tidak pernah mau mengalah pada kakak. Aku
meragukanmu jika kamu mencemaskan aku." Melody kembali tertawa.
Frieska menjadi
jengkel, padahal ucapannya barusan benar benar bahwa dia sungguh
mengkhawatirkan kakaknya. "Dan aku suka berbuat seenaknya, kan?"
"Benar!" Gelak Melody.
Wajah Frieska
manjadi kusut, Ia menatap kakaknya dari dekat. "Aku ingin sekali menjadi
adik yang baik dengan mencemaskan kakakku sendiri, tapi ..."
"Tapi apa?" Tanya Melody penasaran.
"Mengapa aku
selalu dinomor duakan jika ingin mengiginkan sesuatu, aku jadi sempat
berpikir, sebenarnya siapa adik dan siapa kakak? Mengapa jika kakak
ingin sesuatu selalu diperbolehkan oleh Ibu atau Ayah? Sedangkan aku,
semua permintaanku selalu saja ditolak, dulu juga aku ingin sekali
mengikuti audisi, Tapi Ibu melarang keras permintaanku itu."
Mendengar
keluhan adiknya itu, Melody menatap Frieska sungguh sungguh. Sebetulnya
Melody pun merasa Iba, Namun Melody tahu betul tujuan kedua orang
tuannya dengan melarang Frieska pada audisi waktu itu.
"Ibu
menginginkan yang terbaik padamu. Seperti katamu barusan, para Haters.
Sesuatu yang menimbulkan keindahan atau kepopuleran, selalu didampingi
oleh yang namanya pihak pembenci atau Iri hati. Ibu justru sangat
menyayangimu, Ibu mau kamu fokus sama pelajaran dahulu. Orang tua mana
yang mau melihat anaknya menderita. Apa kamu sudah mengerti maksud
kakak?"
Sikap bijak
Melody membuat hati Frieska menjadi tenang, Kakaknya memang pandai
sekali kalau yang namanya menceramah. Keluhan Frieska yang awal memang
sudah membuat hati tenang, namun ia mempunyai keluhan yang lain. Mumpung
Kakaknya sedang bersama sama dikamar, Frieska ingin sekali mengeluarkan
semua masalahnya dengan blak blakan.
"Tidak
peduli dengan apa yang orang katakan padaku, tapi aku ingin sekali
bekerja dan punya penghasilan sendiri, seperti kakak. Aku gak tega
melihat Ibu dari pagi hingga sore bekerja membuat kue yang hasilnya pun
mungkin hanya cukup untuk makan dan biaya sekolahku. Maka dari itu aku
juga ingin mengurangi beban itu."
Melody
membalasnya. "Kamu masih sekolah, sudah aku bilang kamu hanya perlu
fokus pada pelajaranmu. Biaya sekolah dan kebutuhan lainnya akan aku
usahakan membayarnya. Jangan kamu pikir kamu hanya hidup seorang diri
didunia ini, aku masih sanggup membayar itu semua."
Frieska hanya bisa tersenyum mendengarnya, Ia jadi merasa lega dan bisa fokus dalam pelajarannya.
Pagi itu
putri direktur, Rena, sudah dibuat menunggu di persimpangan jalan.
Memang baru kali ini Ia jengkel pada sosok Melody, Sebab, apa yang
dilakukan Melody selalu berlajan mulus, tidak seperti sekarang yang
kehadirannya membuat Rena menunggu. Karena itu Rena merasa heran,
sebenarnya apa sih yang membuat dirinya datang terlambat. Tidak lama
Melody pun muncul dan segera menghampiri Rena.
"Maaf membuatmu menunggu." Kata Melody singkat.
Rena geram, mau
marah tetapi tidak enak hati. Lagipula Melody juga bukan pembantu atau
suruhannya. Keberadaan Melody hanya sebagai pendamping dirinya. Dengan
terpaksa, Ia kubur amarah tersebut.
"Hari ini
tugasku sungguh banyak. Aku minta maaf karena memintamu menemaniku. Aku
sudah memeriksa jadwal tampil mu untuk hari ini, dan suatu kebetulan
bahwa jadwal mu kosong. Bisakah kamu membantuku?"Tanyanya.
Dari hari
pertama Rena diperusahaan Ayahnya, memang tidak banyak yang Ia kenal.
Ayahnya pun terlihat berlebihan dalam memperkerjakannya. Tidak ada orang
lain dan tidak ada yang cocok untuk mendampinginnya kecuali Melody.
Sikapnya yang keibuan memang membuat siapa saja betah disampingnya,
begitupun dengan Rena.
Melody menjawab
dengan senyum tipisnya, kemudian ia menarik lengan Rena dan membawanya
ke Halte Bus. Sesampainya di Halte, Rena mengeluh.
"Kenapa kita tidak naik Taksi saja?"
Melody menghela
nafas. "Aku tahu bahwa kamu merupakan orang berkedudukan tinggi, tapi
apa salahnya jika kamu mengetahui bagaimana rasanya menaiki Bus. Ada
saatnya kamu juga harus berbaur dengan orang orang rendah, maka kamu
akan tahu bagaimana rasanya berterima kasih dengan tulus."
"Dengan uang saja aku rasa itu sudah cukup untuk mengucapkan terima kasih." balas Rena.
Melody mendengus. "Memang mudah bagimu mengucapkan itu, sebab yang kamu punya hanyalah uang."
Rena menjadi jengkel, perasaannya meluap luap setelah omongan Melody barusan.
"Ya! memang
benar yang aku punya hanyalah uang. Aku sudah terbiasa mengucapkan
terima kasih dengan uang. Sejak kecil aku dibesarkan tanpa orang tua,
aku diasuh oleh babysitter selama bertahun tahun. Bahkan sejak kecil aku
tidak bisa mengenali ibuku sehingga aku selalu memanggil Babysitter
dengan sebutan 'Mamah'."Kata Rena menjelaskan.
Melody melongo
menatap Rena, Ia baru tahu bahwa Rena dibesarkan tanpa kasih sayang
orang tuanya. Melody menjadi tidak enak hati, pasti Rena menjadi
tersinggung atas ucapannya.
"Aku minta
maaf, bukan maksudku untuk menyindirmu mengenai harta. Aku hanya ingin
kamu bisa memahami kehidupan bawah itu seperti apa." Balas Melody.
Rena cemberut, wajahnya berpaling dari Melody.
15 menit
berlalu dengan cepat. Rena dan juga Melody telah sampai di Gedung
Pelangi Entertainment. Disebelah Melody, Rena semakin kesal saja.
Rena menggerutu. "Panas, Sumpek dan aku juga harus mendengarkan musik musik aneh dari gitar dengan suara yang tidak karuan."
Melody hanya tersenyum. "Maksudmu pengamen?"
"Entahlah apa namanya. Tapi yang pasti, aku tidak suka dengan suasana itu."
Mereka berdua
berlajan menuju gerbang masuk gedung. Didepan gerbang, mereka bertemu
dengan Ayu yang nampaknya Ayu memang sedang menunggu seseorang.
Melody nampak terkejut menghampiri Ayu. "Ayu... Kamu sedang apa disini?"
Perasaan Ayu mendadak sedih. "Aku ingin bertemu dengan kakak."
"Aku? tapi kamu kan bisa telepon kakak dulu, bagaimana kalo kakak tidak datang kesini?" Katanya dengan wajah sedikit heran.
Diambilnya
sebuah gelang tali dengan corak unik berwarna coklat dari saku Ayu, Ia
memberi gelang tersebut pada Melody. "Aku mau kakak menyimpan ini
sebagai tanda terima kasihku selama ini yang sudah menjagaku dan
menemaniku. Mulai hari ini aku akan tinggal di luar kota bersama dengan
Ibuku."
Melody
terperanjat dengan omongan Ayu barusan. "Apa? mengapa mendadak sekali?
kita bahkan belum pernah foto bersama. Aku begitu kecewa, mengapa
kebersamaan kita begitu singkat?"
Ayu mulai
menjelaskan. "Aku juga tidak tahu bahwa aku sudah mengambil langkah yang
benar atau salah. tetapi, Ibu ingin aku segera meninggalkan kota ini.
Bagaimanapun aku tidak bisa menghalangi semua keinginan Ibuku, aku harus
mematuhinya. Aku minta maaf atas kepergianku ini."
"Bagaimana dengan Dhike? Apa kamu sudah bicara dengannya? Apa jawabannya?" Tanya Melody begitu penasaran.
"Aku belum memberitahunya." Jawabnya singkat.
Melody menghela
nafas kecewa. "Lantas, apa kamu akan pergi secara diam diam? Dhike
sungguh menyayangimu, Ia akan merasa sungguh kecewa atas tindakan mu
kali ini. Setidaknya, kamu juga harus berpamitan dengannya."
"Aku tidak sanggup." Potong Ayu.
"Mengapa?
Dhike adalah teman dekatmu. Dia yang selalu ada saat kamu terluka, apa
kamu tega meninggalkannya tanpa memberitahunya?"
"Maka dari
itu aku benar benar tidak sanggup bertemu dengannya. Tatapan matanya
yang tulus, tangannya yang lembut selalu membuat jantungku berdebar
kencang, seakan aku tidak ingin meninggalkan itu semua. Berpamitan
dengannya hanya akan membuat hatiku semakin hancur. Aku sungguh tidak
sanggup bertemu dengannya." Ayu menangis tersedu sedu.
Rena yang
berada disebelah Melody hanya bisa terdiam bertanya tanya, sebetulnya
siapa Ayu itu? Dan siapa temannya yang bernama Dhike itu? Sepertinya
kehidupan Ayu sama pahitnya dengan aku, pikir Rena.
"Bagaimanapun, kamu juga harus bertemu dengannya. Aku sungguh tidak
setuju jika kamu pergi tanpa meninggalkan jejak sedikitpun padanya.
Ingatlah semua perbuatan yang telah Dhike berikan padamu. Jika kamu
pergi seperti ini, hanya akan meninggalkan bekas luka kekecewaan." Kata
Melody yang masih berusaha menentang tindakan Ayu.
Lantas Melody
mendelik dan mengancam. "Jika kamu masih bersikeras seperti itu, maka
aku yang harus memberitahunya." katanya seraya mengambil ponsel. Melody
isikan sebuah pesan kepergian Ayu pada Dhike, namun sayang, Ayu dengan
cepat mengambil ponsel Melody dan mematikannya.
Ayu menggeleng
geleng perlahan menatap Melody, matanya berkaca kaca. "Aku mohon jangan,
aku sudah persiapkan ini semua. Jika kak Dhike tahu kepergianku, pasti
ia akan menghalangiku. Aku tidak mau itu terjadi, aku ingin kak Dhike
menjalani hidup seperti kak Melody dan lainnya yang mengejar mimpi
masing masing, meneruskan pendidikannya ke perguruan tinggi,
bercengkrama dengan teman teman lainnya. Aku tidak ingin kak Dhike hanya
memikirkan ku, maka dari itu aku ingin pergi secara diam diam."
Hari itu adalah
hari yang berat bagi Ayu. Ia harus berusaha menyingkirkan semua
kenangan dirinya dengan Dhike dan juga teman temannya. Belum lagi, ia
harus menerima penyakit yang akan dideritanya dikemudian hari. Ayu
berniat memulai hidup baru tanpa kasih sayang dari siapapun. Menurutnya,
kasih sayang hanya akan membuat bekas luka yang besar disaat akhir
perpisahannya.
BERSAMBUNG....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar