Terasa nyaman
sekali, sepi dan tenang. Hanya ada hempasan angin yang menerpa kulitku,
serta jangkrik yang terus bersuara. Dibawah pohon besar di daratan
tinggi ini aku duduk bersimpuh memandang kota yang membentang luas
dibawah sana. Semuanya Terasa kecil sekali jika dipandang dari sini.
Apakah aku sama kecilnya dimata orang orang? Andai saja semua orang
saling menjagai dan menghargai perasaan orang lain, mungkin aku tidak
akan pernah menyendiri seperti ini. Tapi tak apa, aku sudah mulai
terbiasa menerima omongan rendahan dari mereka.
Tiba tiba saja
datang sesosok wanita yang paling aku kagumi, Dia Kinal, lagi lagi dia
dan hanya dia yang sudah menemani ku ditengah malam ini. Padahal aku
tidak pernah menyuruhnya untuk menemaniku, namun ia selalu hadir
disisiku. "Malam!" Sapanya padaku. Aku tersenyum membalasnya.
"Lagi lagi kamu disini, apa kamu tidak takut sendirian dibawah pohon besar ini?"
Aku menggeleng manja. "Aku tidak takut, sebab pasti selalu ada kamu yang selalu menamaniku. Seperti saat ini." Kata ku manis.
"Kenapa?
Kenapa hanya aku seorang yang membuatmu tidak pernah menghindar? Apa
kamu tidak mau mencari teman lain?" Aku menggeleng lagi sambil
tersenyum. "Aku tidak berani menghampiri orang yang belum aku kenal."
"Besok
adalah hari pertama mu masuk kuliah, ruangan kita berbeda. Apa tidak apa
apa jika aku tidak ada disisimu?" Mendengar omongan Kinal membuat wajah
Diasta mununduk layu. "Aku akan mencoba kuat, apapun yang terjadi ..."
"Apa kamu ingin ikut aku jalan jalan?" Ajakku pada Kinal.
Ditengah malam
yang gelap mereka berdua berjalan bersama, melewati komplek perumahan,
sekolah dan berakhir disebuah stasiun kereta api. Suasananya sungguh
hening, semakin melangkah kedepan maka akan semakin terdengar suara
wanita menangis yang terdengar samar samar. Seketika tubuh Kinal
bergidik mendengar suara tersebut. "Kenapa kita kesini? Disini sepi, aku
takut." Katanya pada Diasta. Diasta menengok pada salah satu kursi
diruang tunggu loket. Dijarak 20 meter mereka melihat sesosok wanita
remaja dengan rambut sepinggang serta poni yang menutupi seluruh
wajahnya. Wanita misterius itu terus menangis tersedu sedu.
"Kamu lihat
wanita yang ada dihadapan kita? Aku selalu melihatnya setiap hari. Aku
ingin sekali menghampirinya dan menenangkan hatinya yang mungkin sedang
buruk. Namun aku tidak berani, aku takut dia akan pergi setelah melihat
ku."
Kinal membalas
dengan wajah Ciut. "Apa apaan sih, kamu? Justru akulah yang sungguh
ketakutan memandanginya, apalagi menghampirinya. Jantungku bisa copot."
Diasta terus
memohon pada Kinal. "Tidak bisakah kamu menghampirinya? Kenapa
perasaanku selalu tidak tenang setiap melihat wanita itu menangis."
Kinal menarik pergelangan tangan Diasta. "Ayo kita pergi darisini, aku
sungguh takut."
Disaat
perjalanan pulang, Kinal berceloteh menyimpulkan apa yang mereka lihat
barusan. "Jangan, jangan. Rumor tentang Hantu jarum penunggu stasiun itu
memang benar adanya. Kamu tau, kan?" Lantas Diasta menggelengkan
Kepalanya. "Jadi kamu tidak tahu? Cerita itu sungguh populer dikawasan
stasiun dan mulai merambat ke kota." Diasta mulai penasaran. "Bagaimana
kisahnya?" Kinal memasang wajah serius. "Tiga minggu yang lalu telah
terjadi penabrakan maut distasiun. Mereka berdua, Ibu dan anak, saat itu
sedang menunggu kereta datang. Mereka berdua baru saja selesai menambal
rok sekolah anaknya yang robek, mereka bukan dari kalangan orang kaya,
mereka miskin. Bahkan duit seribu pun mereka sulit mendapatkannya."
"Lantas apa hubungannya?" Tanya Diasta semakin penasaran.
"Biaya
menjahit rok anaknya menghabiskan sekiranya lima ribu rupiah. Ibu dan
anak itu menunggu dalam posisi yang bisa dibilang terlalu dekat dengan
jalur lintas kereta. Saat kereta mulai datang, tiba tiba saja ada yang
menyenggol lengan anak itu yang menyebabkan plastik berisikan rok nya
itu terjatuh ke lintasan kereta. Tanpa sadar anak remaja itu dengan
cepat turun kelintasan dan mengambil plastik berisi pakaiannya. Ia lupa
bahwa ada kereta yang sedang melintas saat itu, terjadilah tabrakan maut
yang menyebabkan tubuhnya hancur terlindas." Kata Kinal melanjutkan
tanpa kasihan, terdengar kejam.
Diasta berpura
pura takut setelah omongan Kinal barusan, ia tahu bahwa cerita itu tidak
cocok. Diasta sudah melihat wanita yang ada distasiun itu sejak 2 bulan
yang lalu, lantas cerita yang barusan kinal beritahu terjadi tiga
minggu yang lalu. Dengan wajah jahilnya Diasta membalasnya. "Oh jadi
cerita yang itu, ya? Aku pernah dengar. Tapi tunggu, apa kamu tidak
takut dengan kutukannya?" Kinal keheranan. "Apa maksud kamu?" Diasta
melanjutkan lagi. "Jadi kamu tidak tahu? Katanya, orang yang sudah
menyebarkan berita itu tanpa memberinya bunga melati dilintasan tempat
terjadi tabrakan, maka dia akan mendatangimu sambil membawa ribuan jarum
yang siap menusuk nusuk tubuhmu itu." Diasta berhasil membuat Kinal
ketakutan. "Apa itu benar?"
'Benar! Dia
juga akan muncul dicermin kamar mandimu, bawah kasurmu, atau mungkin
didalam lemari pakaianmu. Aku jadi takut, aku pulang dulu, ya." Kata
Diasta sambil berlari menuju rumahnya. Kinal berteriak ketakutan sambil
mengejar Diasta. "Tunggu aku, aku takut. Aku menginap dirumahmu, ya?"
Keesokan
harinya disebuah kampus, pagi hari. Ini merupakan hari pertama Diasta
masuk perguruan tinggi. Disudut pojokan ruangan belajar aku berdiam diri
dengan wajah tidak bersemangat menunggu dosen. Aku tahu bahwa tujuan
utama ku disini adalah untuk menuntut ilmu, namun tetap saja aku merasa
tidak nyaman dengan lingkungan sekitarku. Mata mata kebencian itu
kembali datang. Tidak ada yang berubah disini, aku kira semakin
dewasanya manusia, maka akan semakin menjagai atau menghormati perasaan
orang lain, ya walaupun ada, namun jumlahnya tidak banyak. Omongan
omongan pedas masih saja menghantuiku.
Baru beberapa
menit saja diriku sudah menciut, salah satu dari mereka datang
menghampiriku dengan angkuhnya, ia memandang dekat wajahku. "Apa tujuan
utama mu masuk perguruan tinggi? Walaupun kamu mendapatkan nilai bagus,
itu tidak berarti sama sekali. Sekretaris? Jurnalis? Atau mungkin
seorang pemandu wisata? Apa diantara profesi itu ada yang kamu impikan?
Aku ragu kamu akan dipergunakan. Janganlah menghabis habiskan uang
dengan percuma."
Aku masih bisa
bersabar mendengarnya. Namun salah satu dari mereka tetap saja mengolok
ngolokku. Datang lagi satunya dan berbisik padaku. "Aku beritahu hal
yang paling penting dalam dunia pekerjaan, yakni kecantikan dan tubuh
yang seksi. Itu sangat berbanding terbalik denganmu saat ini. Orang
cantiklah yang paling dicari. Lebih baik kamu buka usaha warung kecil
kecilan saja dirumah, ya?" Cemoohnya.
Aku mencoba
tersenyum lalu membalasnya dengan nada rendah. "Terima kasih sarannya."
Mereka tidak berhenti sampai disitu, bahkan salah satu dari mereka ada
yang menyinggung keberadaanku dari jauh. "Setidaknya, kita akan punya
bahan lawak disini. Yah, lumayan daripada bengong."
Aku tahu bahwa yang dimaksud dirinya adalah aku. Mereka bisa menertawakanku atau mungkin mengolok ngolok
keberadaanku
dengan melihat fisik ku. Aku tahu bahwa luka bakar yang kuterima
disebagian wajah dan leher memang sulit sekali hilang. Mereka yang
tidak sempurna pasti akan menjadi bahan perbincangan. Tepat disebelah
tempat ku duduk, seorang wanita berambut pendek terbangun dari tidurnya,
ia datang menghampiriku. "Kamu begitu lemah hingga orang orang
disekitarmu mampu menginjak harga dirimu. Tidak ada perlawanan, kamu
hanya membalasnya dengan senyum palsu. Sampai kapan kamu akan seperti
itu? Kalau aku ada diposisimu, aku akan balik menginjak mereka. Aku rasa
aku tidak akan bisa tidur nyenyak jika kamu duduk disebelahku."
Katanya. Wanita itu kembali tidur dimeja belajarnya.
Aku merasa dia
ada dipihakku saat itu. Ia berusaha membuatku kuat dengan omongannya
barusan, tetapi kenapa aku tidak melihat wajah tulusnya? Aku terus
memandang kearahnya. "Siapa namamu?" Kataku malu terbata bata.
Ditempatnya duduk, lantas ia menjawabnya dengan mata yang masih
terpejam. "Jangan girang. Aku tidak ada dipihak siapapun, aku hanya
benci melihat orang lemah sepertimu."
Aku merasa
sedikit terpukul oleh omongannya. Apakah aku memang selemah itu?
Sehingga orang dengan mudahnya merendahkanku? Lantas aku menjelaskan apa
yang aku rasakan padanya. "Aku juga pernah melawan mereka. Namun jumlah
mereka terlalu banyak. Semakin aku melawan, maka hatiku akan semakin
terluka. Mereka malah bertambah kesal jika aku melawan, dan omongan
omongan pedas datang menghampiriku. Saat itulah aku mulai menangis. Aku
sadar bahwa aku tidak bisa melawan mereka, mereka sepihak, mereka satu
pemikiran yang sama, mereka satu tujuan. Aku diperlakukan seperti boneka
yang bisa dipermainkan sesuka mereka, kapan saja saat mereka bosan."
Wanita itupun terbangun dari sandarannya, ia menghampiriku dan menyodorkan tangannya padaku. "Namaku Ghaida Farisya."
Diruang dapur
apartemennya Dhike senyum senyum membuatkan Jus antara perpaduan Buah
dan sayuran. Keceriaan wajahnya kembali tumbuh berkat kesadaran Ayu.
Setidaknya kesehatan Ayu sudah mulai ada kemajuan dari sebelumnya. Ayu
bisa sedikit menggerakkan kepalanya, menggangguk maupun menggeleng.
Wajar, Semua syaraf ototnya kaku akibat tidak sadarkan diri selama
berbulan bulan dirumah sakit. Dhike melirik jam tangannya, sudah hampir
jam sepuluh pagi, Dhike mempercepat gerakannya.
Sesampainya
dirumah sakit, Dhike menyapa Ayu. "Pagi." Dengan Senyumnya. Dhike segera
menaruh tas bawannya ke meja dan mengambil Jus yang ia taruh didalam
botol plastik lengkap dengan sebuah sedotan. Ayu memang masih tidak
sanggup mengunyah makanan padat, ia hanya bisa minum. "Tada! aku harap
kamu suka rasa dari jus ini." Katanya sambil menempatkan sedotan ke
mulut Ayu.
Dhike mengambil
remote Tv untuk menyalakannya, Film kesukaan Ayu sepertinya sudah
dimulai. Dhike menoleh pada Ayu sambil mengelus rambutnya. "Kemarin
malam Ibumu datang menemuiku. Ia memintaku untuk merawatmu dengan baik.
Ibumu sedang melakukan perjalanan dinas ke luar negeri, maka dari itu Ia
tak sempat menengokmu, walau dirimu sudah siuman. Aku harap kamu tidak
kecewa karenanya. Kamu rindu, kan?"
Ayu menggangguk
perlahan. Tidak sengaja, Kawanan Melody muncul disela sela iklan tv,
Ayu tercengang. Dhike menjelaskan. "Mereka semua lulus dalam Audisi itu.
Mereka semakin populer, kan?"
Lantas lengan
Ayu bergerak perlahan meraih tangan Dhike, tangannya yang hangat
memegang erat tangan milik Dhike dengan perasaan sedih. Dhike sadar
bahwa Ayu sedang mengasihani dirinya tentang Audisi tersebut. Namun,
Dhike akan bersikap tegar dihadapannya. "Sebenarnya, aku juga lulus
dalam Audisi itu. Namun, aku sadar bahwa aku tidak terlalu
memimpikannya. Jadi jangan terlalu merasa bersalah jika aku menolak
masuk dalam Idol group tersebut karena mu. Itu semua tidak benar.
Menjagamu untuk lebih sehatlah yang membuatku merasa nyaman, seolah olah
aku sudah mengerjakan tugasku dengan baik. Entahlah, dorongan itu
selalu datang dalam diriku."
***
Diruangan
make-up sebuah pertunjukan, Sonya, Jeje serta Shanju bersama sama
diruangan itu untuk mendandani penampilannya. Sonya dan Jeje duduk
bersebelahan, lengkap dengan seorang penata rias yang siap menyulap
penampilan mereka dalam sekejap. Namun tidak dengan Shanju, ia malah
duduk di sofa ruang tunggu dengan wajah yang murung. Jeje menyikut
nyikut lengan Sonya dengan mata melirik Shanju keheranan. "Dia kenapa?
Sudah 3 hari ini wajahnya murung terus." Sonya mengangkat kedua bahunya.
Setelah pentas
selesai, mereka bertiga bersama sama berkumpul disatu ruangan santai.
Suasananya sangat cocok untuk berbincang bincang, ditemani secangkir teh
hangat. Saat itu juga sedang ada kehadiran Cleo disana. Lagi lagi wajah
Shanju menunjukkan kemurungannya, entah apa yang ada dipikirannya.
Tingkah Shanju yang begitu pendiam membuat Jeje geram untuk segera
menanyakannya. "Kamu kenapa, sih?" Sonya pun ikut serta menanyakannya.
"Iya, sudah beberapa hari ini mukamu mendung begitu. Ada apa?"
Shanju menghela
nafas, sepertinya ia akan membagikan masalah yang ia pendam pada
kawannya. "Jadi seperti ini rasanya jika dibenci oleh orang banyak.
Beberapa hari ini aku banyak sekali menerima omongan omongan pedas dari
para fans yang membenciku. Mereka tidak suka melihat penampilanku." Kata
Shanju berterus terang.
"Yang seperti itu jangan diambil pusing, cukup kamu tingkatkan saja penampilanmu saat pentas." Jawab Cleo singkat.
"Namun, aku
merasa peran Fans begitu penting. Aku begitu ambruk saat tahu banyak
dari mereka yang membenciku. Aku sungguh tidak bersemangat melanjutkan
dunia hiburan lagi. Rasanya aku ingin menyerah." Keluh Shanju.
"Memang
seperti itulah dunia hiburan. Kita membuat karya seni, lantas yang
menilai seni kita adalah mereka yang melihat, berkomentar serta
berpendapat, yakni para penggemar sendiri. Jika kita tidak mendapat
dukungan oleh para penggemar, untuk apa dilanjutkan, benar kan?" Kata
Jeje.
Namun
sepertinya Jeje salah dalam mengambil penjelasan, bukannya menenangkan
perasaan Shanju, malah bertambah parah. Shanju pun berkomentar dengan
wajah jengkelnya memandangi Jeje. "Kalo begitu, dengan tidak adanya
dukungan pada diriku, lalu aku harus berhenti? Seperti itu kah yang kamu
maksud?"
"Benar!" Jawab Jeje keceplosan.
Sonya memukul
lengan Jeje setelah ucapannya. "Bukan begitu, Ju. Benar kata kak Cleo
barusan, jika penampilanmu buruk, cukup tingkatkan saja penampilanmu
dengan berlatih. Lagipula Haters dikalangan artis hiburan itu sudah
biasa. Mereka yang tidak tahu kerja keras dalam membuat suatu karya seni
hanya bisa meledek, menghina serta merendahkan. Mereka iri, tidak ingin
mengakui keberadaan karya kita. Sudahlah, tidak usah diambil pusing
yang begituan. Kita juga terjun didunia hiburan ini bukan sekedar ingin
tenar, melainkan ini sama saja kita bekerja mencari uang, benar kan?"
Cleo menggangguk cepat, ia sangat setuju ucapan Sonya barusan. "Benar!
Tumben otakmu bekerja, Son." Sonya menoleh pada Cleo. "Jadi, selama ini
otakku tidak bekerja, ya?" Tanyanya dengan wajah polos, lantas Cleo
hanya cengar cengir.
BERSAMBUNG....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar