Didalam sebuah
cafe yang berdiri ditengah kota, Dhike menantikan seseorang untuk
bertemu dengannya saat itu. Wajahnya biasa saja seperti orang pada
umunya jika sedang menunggu. Sudah lima menit lamanya ia duduk, rasanya
tidak asik jika tidak mencicipi sesuatu yang dijual di cafe tersebut,
lantas Dhike memanggil seorang pelayan.
"Selamat
Datang, Apa ada yang bisa saya bantu, Nona?" Tanya pelayan wanita ramah
disela senyumnya. "Boleh aku melihat daftar menunya?" Pinta Dhike.
Sesegera pelayan tersebut memberikan daftar menu. Dhike melihat lihat,
pilihan terakhirnya ada pada minuman. "Aku pesan Espresso Float."
Sambil menunggu
pesanan datang, Dhike membaca baca majalah yang tergeletak dimeja
pelanggan. Sesekali lirikkan matanya menengok pada arlojinya, memang
sedikit agak kesal, Dhike harus menerima kenyataan bahwa orang yang
ditungguinya sudah telat sekitar sepuluh menit. Dhike mengambil ponsel
daridalam tas kecil yang ia taruh diatas kedua pahanya. Ia merasa
bimbang apakah ia akan kembali menghubungi orang yang telah membuatnya
menunggu, namun ia kembalikan lagi posisi ponsel itu kedalam tas
mininya, bagaimanapun, Dhike lah yang membutuhkan orang itu.
Diwaktu yang
bersamaan antara pelayan serta orang yang telah membuat Dhike menunggu,
kini datang. Tidak jauh orang itu adalah temannya sendiri, yakni Sendy.
Sendy segera menghampiri Dhike sembari menggangkat lengan kanan
menyapanya. "Dhike! Maaf aku terlambat. Jalanan di kota Jakarta semakin
tahun semakin padat." Ucap Sendy merasa tidak enak hati. Dhike
menggangguk memakluminya. "Apa kamu ingin pesan sesuatu?"
"Aku pesan
sama sepertimu saja." Jawab Sendy. Dhike menoleh pada pelayan
disampingnya. "Satu gelas Espresso Float lagi." Pintanya.
"Bagaimana
keadaan Ayu dirumah sakit?" Tanya Sendy. "Dia sudah mulai bisa
berbicara, Namun pergerakan otot syarafnya masih belum ada kemajuan.
Masih butuh waktu untuk terapinya."
"Syukurlah, setidaknya sedikit demi sedikit sudah ada kemajuan. Aku sungguh rindu dengannya."
"Apa yang
membuatmu sibuk? Sudah satu minggu ini kamu tidak menengok Ayu. Dia
sering sekali menanyai keberadaanmu." Kata Dhike.
Sendy Girang
mendengarnya. "Benarkah? Wahh, aku sungguh senang ternyata dia juga
memikirkan aku. Sudah satu minggu ini aku sibuk kesana kemari mencari
pekerjaan. Aku tidak bisa berdiam terus, bukan? Kini aku tinggal seorang
diri, mau gak mau aku harus membiayai hidupku dengan tanganku sendiri."
"Bagaimana
mungkin dengan mudahnya Ayu bisa melupakanmu setelah kebaikan yang kamu
berikan padanya. Aku senang mendengar bahwa satu minggu ini ternyata
kamu sedang mencari pekerjaan, semangat!" Kata Dhike. Sendy hanya
tersenyum lebar membalasnya.
Seorang pelayan datang memberi pesanan baru untuk Sendy. "Terima kasih." Kata Sendy.
Dhike meneguk
minuman pertamanya, dan kemudian ia menatap Sendy, sepertinya Dhike akan
mengatakan sesuatu. Dengan perasaan tidak enak Dhike meminta pada
Sendy. "Apa boleh aku meminjam keahlianmu sebagai detektif?"
Lantas Sendy tersentak mendengarnya. "Boleh diperjelas maksud dari ucapanmu barusan? Aku sama sekali tidak mengerti."
Dhike mengambil
sebuah Foto dari dalam tas kecilnya, Foto tersebut ia lihatkan pada
Sendy. Sendy terkejut. "I..I...Ini ..." Ucapnya terbata bata. "Benar,
Itu adalah Foto Ayahnya Ayu." Kata Dhike. Daribalik wajahnya yang
keheranan, Sendy bertanya. "Apa yang kamu mau aku lakukan? Apa jangan
jangan ..." Terkanya.
"Jika tidak
keberatan, aku mau kamu kembali menyelidiki Kasus Ayah Ayu yang sudah
bertahun tahun hilang. Bahkan pihak kepolisianpun tidak bisa
menuntaskannya. Aku begitu penasaran apa yang telah terjadi pada
Ayahnya. Aku mohon padamu. Aku tidak bisa melihatnya terus memikirkan
Ayahnya, tiap harinya, bahkan tiap jamnya anak itu selalu memikirkannya.
Aku tidak tega. dan kalaupun Ayu akan menerima kenyataan pahit tentang
keberadaan Ayahnya, tapi aku rasa itulah jalan yang terbaik untuknya."
Sendy terdiam
sejenak, ia beralasan. "Tapi, dengan keadaanku yang sekarang, akan sulit
sekali untuk menyelidikinya. Aku tidak mempunyai cukup barang yang akan
membantu dalam proses penyelidikan, setelah semua barangku disita oleh
pihak Badan Detektif Nasional." Kata Sendy Blak blakan. Dari hati yang
terdalam, Sendy juga ingin sekali mengetahui keberadaan Ayah kandung
Ayu.
"Kira kira,
Berapa Biayanya?" Tanya Dhike tiba tiba, sepertinya Dhike mengetahui
faktor kekurangannya. Sendy pun tidak enak hati mengatakannya. Ia
berbasa basi. "Ti.. Tidak terlalu banyak. Aku juga akan melakukannya
sebisa mungkin tanpa mengeluarkan banyak biaya."
"Aku mohon kerja samanya." Kata Dhike sambil melempar senyum.
Pelangi
Entertainment, adalah sebuah perusahaan bakat utama besar yang berdiri
di Jakarta, meliputi Rumah produksi, Gedung Talent, Penulis Naskah,
produser serta penerbit musik. Pelangi Entertainment telah sukses
menciptakan orang orang berbakat untuk terjun ke dunia hiburan, bahkan
perusahaan mereka telah banyak bekerja sama dengan negara negara lain,
salah satunya adalah Investor investor asing rela bekerja sama hanya
untuk menciptakan artis berbakat dan juga pembuatan Film. Bahkan,
produser terkenal yang berasal dari Jepang, yakni Yasushi Akimoto,
sebelumnya memang sudah bekerja sama dengan Pelangi Entertainment untuk
mengembangkan musik ditanah air, salah satunya adalah JKT48 yang mereka
naungi.
Mereka tidak
fokus dalam satu jenis hiburan saja, mereka yang berbakat bisa mempunyai
banyak impian, seperti penyanyi, aktor/aktris, penulis naskah, seorang
dancer/penari, dan lain lain yang berkaitan dengan Hiburan. Saat ini,
perusahaan mereka telah sibuk sibuknya menyiapkan perencanaan pembuatan
Film besar, Seorang Investor terkaya di China rela bekerja sama dengan
Pelangi Entertainment untuk pembuatan Film bertemakan Aksi oleh
sekumpulan para wanita yang memberantas para teroris. Pelangi
Entertainment akan melakukan seleksi untuk pemeran yang akan terjun
dalam film terkait.
Disebuah
ruangan seminar yang luas, semua orang dibawah naungan atau didikan
Pelangi Entertainment dikumpulkan jadi satu. Seorang direktur dari
perusahaan tersebut akan memberikan sedikit arahan pada orang orang
didikannya, termasuk JKT48 ada didalam keramaiannya.
Dengan mikrofon
yang ia genggam kuat ditangan kanan, ia mulai berbicara. "Ada
kalanya seseorang yang bukan siapa siapa lantas bisa menjadi seorang
bintang emas didunia hiburan ini, kenapa? Mereka berbakat, mereka tidak
takut dalam memajukan impiannya. Jika kalian ingin menghasilkan banyak
uang, carilah seseorang yang bisa menguntungkan kalian, manfaatkanlah
orang tersebut, dalam hal ini saya menyebutkannya kerja sama. Seperti
yang kalian ketahui, seorang investor yang berasal dari China akan
bekerja sama dengan kami untuk membuatkan film bertemakan aksi. Mungkin
ini adalah sedikit jalan pintas untuk memajukan Film Indonesia
dikalangan pihak asing. Film ini tidak hanya tayang di Indonesia serta
China saja, Seorang investor Jepang pun mau ikut berperan dalam
pembuatan film ini. Apa ada yang tahu mengapa mereka memilih kita?"
Tanya direktur pada kerumunan.
Direktur
menambahkan. "Karena mereka tahu apa arti dari sebuah seni. Seni adalah
sesuatu yang dibuat untuk menghasilkan kepuasan, bukan keuntungan.
Itulah prinsip yang saya pegang saat ini hingga saya bisa memimpin
perusahaan ini sampai ketitik sekarang. Saya bukan orang yang tergila
gila akan uang, Saya ingin menciptakan kepuasan dari nilai seni itu
sendiri. Uang akan mengalir dengan sendirinya pada mereka yang mengenal
seni. Mereka yang terkenal dengan prinsip mengambil keuntungan dibanding
kualitas, Saya yakin karya mereka tidak akan pernah diakui dunia ini.
Apa kalian sudah mengerti? Apa ada yang ingin bertanya?"
Kemudian Salah
satu orang dari kerumunan itu bertanya pada direktur. "Bukankah anda
sendiri seorang pebisnis? Pebisnis tentu juga harus memikirkan
keuntungan agar apa yang dilakukan searah dan seimbang."
Direktur
tersebut menoleh pada salah satu yang bertanya barusan. "Pertanyaan yang
sangat bagus. Ini yang dinamakan perang melawan bisnis. Seorang
pebisnis tentu harus memikirkan keuntungan, namun ada yang kalian
lewatkan, yaitu umur dari bisnis yang kalian bangun. Seperti yang saya
katakan sebelumnya, Mereka yang selalu mencari keuntungan tidak akan
pernah seninya dikenang selamanya, ini sama saja seorang pebisnis yang
selalu mengambil jalan pintas dengan mencari keuntungan lebih, namun
tidak dipastikan bisnis nya akan bertahan lama. Seorang pebisnis tentu
harus juga mengutamakan yang namanya kualitas. Mereka yang berkualitas
akan selalu dicari, dipuji dan dikagumi banyak orang, mulai dari situ
yang namanya keuntungan akan mengalir dengan sendirinya."
Lantas semuanya bertepuk tangan kagum mendengar pidato Direktur dari Pelangi Entertainment barusan.
"Hebat!
Pantas saja dia sampai sukses hingga kini." Kata Ve kagum, ia kembali
melihat formulir yang ada ditangannya. "Syaratnya sungguh mudah, siapa
saja yang sudah berumur 16 tahun bisa mengikuti seleksi sebagai pemeran
utama dari film tersebut." Lantas Ve menoleh pada Melody dan juga
Stella. "Apa kalian juga ingin ikut seleksi?" Tanyannya.
"Kami tentu
wajib mengikuti seleksi dalam pembuatan film itu, karena kami baru saja
menyelesaikan film bertemakan Sahabat 2 hari yang lalu dan menduduki
rating teratas. Kami mewajibkan ikut serta oleh manager kami." Jawab
Stella. Ve menggangguk. "Benar juga, kalian sudah punya pengalaman dalam
dunia akting. Aku ingin sekali ikut serta. Apakah mungkin bagiku untuk
mengikutinya sedangkan aku sama sekali tidak mempunyai pengalaman?"
Tanyanya daribalik wajah mendungnya. Melody menjelaskan. "Jangan nyerah
gitu, dengar apa kata direktur barusan. Tunjukkanlah kualitas aktingmu
sebisa mungkin. Tidak ada peraturan yang berpengalaman wajib ikut, kan?
mungkin saja tim produksi mempersilahkan orang baru untuk melakukannya."
Lima kursi ke
arah kanan dari tempat Melody duduk, dengan gugupnya Sonya menghampiri
Melody. Setelah JKT48 terbentuk, Mereka kini satu kawanan, namun
keakrabannya masih dibilang kaku, tidak seperti Ve atau Stella yang
mungkin bisa saling mengejek. Dalam hal ini Sonya masih menghormati
Melody sebagai kakak, Sonya pun masih memakai omongan yang formal.
"Maaf, kak.
Apa boleh aku minta diajari akting? Aku juga ingin sekali terjun dalam
pembuatan Film. Mungkin ini juga akan memulai debutku sebagai seorang
aktris. Seperti yang kuketahui, film yang kakak mainkan menempati rating
pertama. maka dari itu ..."
Sebelum Sonya
menyelesaikan omongannya, Rica yang berada dikursi belakang memotong
pembicaraan Sonya dengan wajah hinanya. Rica merupakan seorang pemeran
utama dalam pembuatan film bertemakan Sahabat, aktingnya memang sudah
tidak diragukan lagi. Namun kesombongan hatinya masih menguasainya.
"Apa
tujuanmu mengikuti casting tersebut? Menjadi tenar? Dipuji oleh orang
banyak? mendapat banyak penggemar? Apa omonganku barusan benar?" Ucap
Rica berpikiran buruk pada Sonya. Lantas Sonya menentangnya. "Aku tidak
serendah yang kamu ucapkan barusan. Apa ada yang salah dengan ucapanku?"
"Memang
tidak ada yang salah, namun ucapanmu barusan terkesan bahwa kerakusan
hatimu masih menguasai tubuhmu. Asal kalian tahu saja, menduduki rating
pertama bukan berarti sepenuhnya ada pada akting dari peran yang kalian
mainkan, Dalam hal ini, penulis naskahlah yang paling berperan, serta
seorang kru atau seorang sutradara yang menilai semua sandiwara kalian
apakah bagus atau buruk, sisanya ada pada pemeran. Apa gunanya jika
akting bagus namun ceritanya sungguh membosankan."
Mendengar itu,
Melody bangkit dari tumpuannya dan memandang tajam Rica. "Aku tahu bahwa
aktingku masih kalah jauh denganmu, tapi bisakah kamu menghargai
perasaan Sonya? Kamu tidak perlu menguras hatimu dengan mengatakan
pikiran buruk itu padanya. Apa kamu tidak diajarkan sopan santun?"
Rica
menyangkalnya. "Aku tidak berpikiran buruk padanya. Aku hanya berbicara
apa kata isi hatiku. Sebuah kualitas dinilai bukan sekedar dari kemauan
saja, namun bakat yang ada pada diri kita sendiri. Seberapa keras
kemauanmu, tapi kalau bakat yang kamu miliki menentangnya, maka sama
saja itu tidak ada artinya."
Sonya tampak
berkaca kaca, ia sedih dan juga kesal pada tuduhan Rica barusan. Dibalik
wajah murungnya ia berusaha melawan omongan Rica. "Apa aku pernah
membuatmu merasa kesal? Kamu bilang barusan bahwa kemauan tidak ada
artinya jika tak ada bakat, namun akan aku buat bahwa kemauan bisa
mengalahkan sebuah bakat. Akan aku perlihatkan bahwa aku bisa mengikuti
casting itu tanpa bantuan dari kalian semua. Aku meminta ini baik baik,
namun kalian memperlakukanku dengan pikiran yang buruk."
Melody menjadi
salah tingkah, ia berusaha menjelaskannya pada Sonya bahwa ia tidak
berpikiran buruk tentangnya. "Bu.. Bukan begitu, Son. Aku sama sekali
tidak berpikiran seperti itu. Justru dengan senang hati aku akan sedikit
membantumu." Sonya menyalip omongan Melody. "Aku tidak menyalahkan
kakak. Aku tahu bahwa kakak orang yang sangat menjagai perasaan orang
lain. Aku hanya akan membalas orang yang sudah merendahkanku saat ini
dengan omongan omongan kosong."
Rica sedikit tertawa sinis mendengar omongan Sonya. "Aku akan tunggu omongan mu barusan." Tantangnya.
Dengan wajah
yang mendung serta kesal, Sonya kembali ketempat duduknya. Melody
menoleh pada Rica dan menatapnya sungguh sungguh. "Kamu tega sekali
memperlakukan dia. Apa pantas sebuah bakat di adu seperti itu? Itu hanya
akan menyebabkan kesakitan hati akan timbul." Rica menjawabnya singkat.
"Aku hanya bicara apa adanya. Aku paling benci memasang topeng
sandiwara pada orang yang lemah."
Sore hari,
Dikamar rumah sakit tempat Ayu dirawat, Cindy sudah mangkal lengkap
dengan barang bawaan yang ia pegang ditangan kanan, ia membawa boneka
kelinci berwarna putih. Saat itu Ayu sedang tertidur lelap dan tidak
menyadari keberadaan Cindy, walaupun Ayu sadar saat itu juga, mungkin
Ayu juga tidak akan mengenalnya. Boneka yang Cindy pegang ia taruh
disebelah Ayu dalam tidurnya, ia menjajarkannya rapih, terlihat lucu,
membuat Cindy menahan rasa tawanya. Belum lama rasa geli menghantui
Cindy, Dhike datang dengan wajah yang penuh tanya, Ia menghampiri Cindy
dengan senyum.
"Apa kamu
teman sekolahnya?" Tanya Dhike. Cindy menjadi gelisah, namun ia akan
menceritakan yang sebenarnya. "Aku bukan saudara maupun temannya, aku
hanya mengkhawatirkan dirinya." Lantas Dhike kembali bertanya. "Kamu
kenal dia darimana?"
"Aku
mengenalnya saat aku juga berada dirumah sakit ini, aku dan dia
ditempatkan diruang yang sama, yaitu ruangan UGD. Aku tersadar saat itu,
aku melihat begitu banyak darah pada orang ini. Betapa menyedihkannya
saat itu, ia tidak sadarkan diri dan darah tidak henti hentinya keluar
dari tubuhnya. Aku begitu ketakutan melihatnya, dan aku sadar bahwa
nyawa begitu berharga dari apapun. Aku pun merasakannya, betapa sakitnya
saat itu, aku terus memohon pada tuhan agar aku terus diberi
keselamatan dalam hidup. Dan kalaupun umurku berakhir saat itu, aku
ingin sekali bertemu dengan orang tuaku dan juga teman teman yang sudah
bersikap baik padaku."
Dhike kembali bertanya. "Siapa namamu?" Cindy menjawabnya dengan senyum tipisnya. "Namaku Cindy Gulla. Apa kamu kakaknya?"
"oh, bukan. Aku hanya teman satu apartemennya. Namaku Rezky Wiranti Dhike, panggil saja Dhike."
"Senang
berteman dengan kakak. Dan aku harap aku juga bisa berteman baik dengan
orang ini." Kata Cindy memandang Ayu. "Namanya Nabilah Ratna Ayu, aku
biasa memanggilnya Ayu." Kata Dhike memberitahu Cindy.
Cindy menggangguk. "Semoga dia cepat sembuh, apa lukanya sangat parah?"
"Saat itu
aku dan dia ingin mencari makan malam, sangat malam hingga kami berjalan
jauh untuk menemukan rumah makan yang buka saat itu. Ia melihat seekor
kucing dijalan, ia menghampirinya dan mengelus ngelus dengan senangnya.
Kecelakaan maut pun terjadi, posisi Ayu sedang tidak baik sehingga sopir
truk itu tidak melihat keberadaan Ayu. Aku tidak sanggup menceritakan
suasana saat itu, begitu menyeramkan sampai tubuhku bergetar hebat
menyaksikan teman yang aku sayangi kesakitan. Ia menatapku dan memegang
erat tanganku kuat kuat, aku sadar betul kalau dia sedang menahan rasa
sakitnya, namun ia tidak ingin memperlihatkannya padaku. Aku menangis
keras melihat keadaannya. Seperti itulah." Kata Dhike diselingi air mata
yang menetes, menimbulkan rasa belas kasihan.
Cindy terdiam iba mendengarnya. "Sungguh malang sekali ... Kakak pasti terpukul sekali melihat keadaannya."
"Saat ini
dia sudah mulai bisa berbicara. Semua otot syarafnya kaku, butuh waktu
untuk menjalankan terapi agar mengembalikan otot syarafnya yang kaku."
Kata Dhike menjelaskan.
Cindy menoleh
pada arlojinya, ia mengeluh. "Sudah mau malam. Aku takut dicari oleh
orang tuaku, salamkan saja aku padanya. Lain kali aku akan bertemu
dengannya lagi, dan aku harap aku bisa cepat akrab dengannya."
Dhike
menggangguk tersenyum. "Akan aku sampaikan kehangatan hatimu padanya.
Dan maaf, saat kamu ingin bertemu dengannya, dia malah sedang tertidur."
Cindy berbasa basi. "Oh, tidak apa apa. Masih banyak waktu untukku bertemu dengannya. Aku tidak ingin mengganggu istirahatnya."
Cindy berjalan
menuju pintu keluar, namun langkahnya kembali menuju kasur milik Ayu.
Dhike sedikit binggung dengan tingkahnya, ternyata Cindy kembali hanya
ingin menempatkan boneka kelinci itu disela pinggul serta lengan kanan
nya. "Tolong jaga Adik Ayu, ya." Katanya pada boneka.
BERSAMBUNG....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar