Kamar apartemen
Dhike, pagi hari. Kejiwaan Dhike sepertinya semakin memburuk,
dipikiranya hanya ada rasa ketakutan yang suatu saat bisa muncul secara
sontak. Diatas tempat tidurnya ia menggenggam kuat selimut tebal,
tubuhnya bergetar gak karuan, keringatnya terus muncul dari wajahnya.
Saat ini Dhike mungkin mengalami Depresi yang hebat. Sudah terlihat dari
keadaanya yang tidak seperti orang pada biasanya, kerjanya hanya
melamun serta tidak pernah memperhatikan kesehatannya. Kamarnya sungguh
berantakan, bungkusan Cup mie instan berserakan gak karuan dilantai.
Siapa dia?
Siapa dia? Mengapa Ia tega menghancurkan hidupku? Mengapa Ia selalu
menghalangi kegembiraanku? Aku seperti terkena sebuah kutukan yang sulit
dihindarkan. Sebenarnya, aku ini siapa ... Dan dia siapa ... ?
Itulah kalimat
yang sering Ia ucap dalam hati. Disela tangannya yang setengah bergetar,
ia mengambil ponselnya tepat disebelah ia duduk, ia menelepon Ibunya
yang berada di Singapura.
"Ibu, aku mohon kembalilah dan temani aku. Aku sedang sakit" ... Dhike menangis tersedu sedu.
"Ya? Kenapa?
Kenapa tidak bisa? Aku disini sendirian, aku tidak punya siapa siapa,
Bu. Tidak ada yang bisa merawatku." Lantas Dhike berteriak kesal. "Aku
tidak butuh perawat, Bu! Yang aku butuhkan hanya Ibu disampingku. Apa
Ibu tidak bisa meluangkan sedikit waktu untuk menemaniku?" Seketika
Dhike membanting ponselnya ketembok dengan keras.
Kejiwaannya
semakin memburuk dengan Sikap Ibunya yang menolak untuk menjenguknya
karena bisnis nya lagi ramai ramainya disana. Dhike merintih kesakitan,
ia memukul mukul kepala dengan kedua tangannya, sudah tidak kuat menahan
rasa sakit.
Kapan masa
itu akan kembali? Masa dimana aku dan dia selalu ceria diwaktu kecil.
Saat ini aku membutuhkannya, sedangkan ia masih terbaring menderita
dirumah sakit itu. Aku ingin mendengar suara saat ia memanggil 'kakak'
padaku. Aku sungguh rindu dengannya. Sudah berbulan bulan lamanya ia
tertidur, apa ia tidak ingin melihatku lagi? Apa dia merasa kesal karena
aku tidak pernah mendukungnya saat Audisi? Saat ini ...
Audisi sudah berakhir, dan yang paling buruknya, kamu bahkan belum mencobanya. Sungguh ironi.
Ayu, aku
meninggalkan impianku hanya demi mu. Aku tidak bisa melihatmu menderita.
Setiap aku mengingat kejadian maut itu, aku sering berfikir mengapa
bukan aku saja yang mengalami kejadian itu. Lebih baik aku menderita dan
melihatmu gembira, daripada aku terus mencemaskan hidupmu yang penuh
pilu itu. Sungguh, aku ingin melihat senyummu yang lebar saat pertama
kali kita bertemu didepan pintu apartemen. Dengan tingkah yang polos
kamu menyuapku dengan sebotol susu hanya demi mengajakku untuk berteman,
aku ingin kembali ke masa itu.
FLASHBACK
Ruangan dapur
milik apartemen Ayu, aku dan dia saat itu sedang membuat adonan kue.
Sebelumnya Ayu telah berjanji untuk membuat kue kering untukku sebagai
hadiah karena aku telah membantunya menyelesaikan PR sekolahnya. Tentu
Ayu masih sangat kecil saat itu, ia bersikeras membuat Adonan yang
pernah aku ajarkan kepadanya. Sesekali ia memukul tanganku saat aku
ingin membantunya, ia menyuruhku diam dan duduk manis menunggunya
menyelesaikan adonan yang ia buat. Setelah menghabiskan waktu kurang
lebih 20 menit, akhirnya adonan yang Ayu buat dengan tangannya sendiri
selesai.
"Kakak, sini!" Panggilnya. Lalu aku menghampirinya. "Apa sudah selesai?"
Ayu menggangguk
dengan senyumnya. "Sudah selesai, sekarang tolong bantu aku memasukkan
adonan ini kedalam Oven, aku tidak nyampe."
"Oke!" Balasku.
Sambil menunggu
adonan matang, aku dan Ayu menonton DVD diruang tamu. Dan tidak lama
kemudian, Ibunya datang sehabis pulang dari kerjanya. Aku menyambutnya
dengan senyuman serta salam. Namun, saat Ibunya tahu bahwa kami sedang
memanggang adonan didalam Oven, ia memarahi kami dengan bentakannya. Ia
pun tidak segan untuk menjewer kuping Ayu hingga dirinya menangis.
Ibunya khawatir kalau akan terjadi apa apa didapur sana, sedangkan kami
masih sangat kecil. Ibunya terus menerus menceramahi Ayu, Ibunya takut
kalau terjadi kebakaran. Aku tidak tega melihatnya menangis, aku
prihatin dan segera memegang pundaknya.
Ayu masih menangis tersedu sedu dipojokan, lalu aku menghampirinya dan berusaha menenangkannya.
"Aku tidak
apa apa. Jadi kamu jangan nangis lagi, ya." Ayu tidak menghiraukan
ucapanku, ia masih saja menangis. Aku kehabisan cara, lantas aku
berjalan menuju dapur, aku menggangkat kue yang setengah jadi itu dari
dalam Oven, aku meletakkannya dipiring, dan segera untuk menemui Ayu.
Didepan wajahnya, aku memakan kue itu dengan lahap. Seketika tangisnya
hilang begitu saja, dengan wajah polosnya ia bertanya. "Apa itu enak?"
Aku menggangguk cepat. "Ini enak, sungguh!"
Aku tahu bahwa
aku sedang berbohong padanya saat itu. Rasanya begitu asin, mungkin Ayu
terlalu banyak memberi garam pada Adonan. Aku terpaksa melakukannya,
sebab aku tak tega terus melihatnya menangis.
Ayu begitu
penasaran dengan rasanya, ia mencoba mengambil kue yang dibuatnya, Namun
aku menolaknya, aku memukul lengannya dan berpura pura jengkel padanya.
"Kamu bilang kue ini untukku? Jadi, jangan coba coba untuk
mengambilnya, ya? Ini sungguh enak."
Ayu tidak marah
sedikitpun aku menolak untuknya mencoba kue buatanya, seketika
tangisnya berubah menjadi senyum yang terus menerus ia lemparkan padaku.
Sedangkan aku, aku masih harus berusaha memakan kue itu sampai habis,
lidahku rasanya mati rasa, begitu asin. Dan akhirnya akupun bisa
menghabiskan kue tersebut. Sesegera aku berpamitan dengan Ayu, aku
berlari menuju dapur apartemenku dan meneguk 3 gelas air putih
sekaligus. Namun aku senang melakukannya, dalam hati selalu berkata, itu
kue terburuk yang pernah aku makan dan aku harap Ayu bisa membuatnya
lebih mahir agar aku bisa merasakan kenikmatannya.
Saat malam hari
tiba, aku menulis buku Diary. Aku menceritakan kejadian konyol tersebut
yang membuat aku harus menghabiskan kue yang begitu asin, aku tidak
bisa membayangkan wajahku saat itu. Aku terus menahan tawa ini jika
mengingatnya. Anak itu, apa dia sengaja melakukannya? Wajah polosnya
mengatakan yang sebenarnya.
___________________________
Kenangan
kenangan indah saat bersama nya selalu terbayang bayang dipikiranku. Aku
sungguh rindu akan kehadirannya. Ditengah tubuhku yang terguncang dan
lemah ini, aku memaksakan diri bangkit untuk menjenguk Ayu. Sudah 3 hari
ini aku tidak menjenguknya, karena akupun dalam keadaan yang tidak
baik. Kepalaku begitu pusing, dan demam ku belum juga turun. Aku harap
saat aku berada disebelahnya, ia akan terbangun dan memberi kabar
gembira. Aku mengambil sweater yang tergantung dipinggir lemari untuk
menghindari udara yang menerpa tubuhku, tanpa sada wajahku terpantul
didepan cermin lemari. Keadaanku begitu buruk, kelopak mataku
membengkak, aku sulit sekali tertidur.
Aku kembali
menjelajahi seisi kamar, begitu berantakan, tubuhku yang lemah ini tak
sanggup membersihkan semuanya. Aku berjalan menuju pintu apartemen, saat
aku membukanya, tepat dihadapanku sudah ada kawan SMA ku, mereka adalah
Melody, Ve serta Stella. Aku mencoba tersenyum pada mereka walau berat.
Aku senang mereka datang menengok ku, air mataku menetes memandanginya.
Aku terjatuh dipelukan Melody, aku memeluknya erat, sungguh. Semua
beban menjadi terasa ringan saat berada disampingnya, ialah sosok yang
ku kagumi. Stella dan Ve pun ikut mendekap tubuhku dengan mata yang
tampak berkaca kaca. Mereka semua merasakan kesulitan serta penderitaan
yang aku alami.
Aku ditempatkan
disofa yang empuk diruang tamu, aku dipaksa berbaring dan tidak
melakukan apa apa. Sedangkan Melody sedang menyiapkan sarapan untukku,
Ve serta Stella merapihkan seluruh ruangan tanpa ku suruh.
Diruang dapur Melody sempat melamun memikirkan hidup Dhike, Ia merasa prihatin.
Ini kedua
kalinya aku melihat wajahnya penuh kesengsaraan. Setelah teman satu
apartemennya mengalami tragedi maut, ia pasti merasa semakin sepi tanpa
kehadirannya. Aku yang bahkan sahabatnya pun tidak bisa menemaninya
sering sering, jadwalku sungguh padat. Maafkan aku karena telah
menelantarkanmu ...
Semua sudah
kumpul diruang tamu, tidak ada wajah ceria yang terpancar dari mereka
semua, hening suasananya. Seperti biasa, saat aku sakit Melody selalu
membuatkan ku bubur kacang hijau, ia pun tak segan menyuapin ku, membuat
diriku malu saja didepan yang lain. Kepribadiannya yang dewasa membuat
diriku menghormati keberadaannya.
"Ikutlah
dengan kami." Ucap ve tiba tiba. "Aku tidak tega melihatmu menjalani
hidup yang seperti ini." Tambahnya. Dhike terdiam, mencerna perkataan Ve
barusan. "Aku tidak bisa, aku tidak bisa bersenang senang jika dirinya
sedang menderita. Bagaimana aku bisa ..." Dhike menangis.
Melody memegang
tangan Dhike untuk menenangkannya. "Tak apa, kami hanya ingin melihatmu
bahagia, keadaanmu saat ini benar benar parah. Kami juga sahabatmu,
bahkan aku sudah mengganggapmu saudara terdekatku. Rasa khawatirku sama
seperti rasa khawatirmu pada Ayu. Bagaimana bisa aku berdiam diri
melihat sahabatku menderita. Dari hati yang paling dalam, hati ini
sungguh ambruk melihat kesengsaraanmu."
"Saat malam
hari tiba, aku selalu memikirkan dirinya. Ia mungkin sedang menderita
disana, ia pasti merasa kesakitan. Tidurku selalu dipenuhi mimpi
buruk."
"Maafkan kami, kami tidak bisa melakukan apa apa..." Sahut Stella.
Ponsel Melody berbunyi, panggilan masuk dengan nomor yang tidak diketahui olehnya, ia mengganggkatnya.
"Halo?"
"Apa kamu sedang bersama dengan Dhike?" Tanya si penelepon.
"Iya, maaf ini dari siapa?"
"Maaf telah mengejutkanmu. Barusan aku menelepon Dhike namun tidak aktif, aku Sendy."
"Oh, iya iya. Apa ada yang ingin kamu tanyakan padanya?"
"Tidak, tidak. Bilang saja padanya bahwa Ayu sudah Siuman. Aku sedang berada dirumah sakit saat ini."
Melody terperanjat. "Benarkah? Ya, aku akan sampaikan berita ini padanya. Makasih." Melody mengakhiri percakapannya.
"Ada apa?" Tanya Ve.
Dengan wajah terkejut dan hati yang senang Melody menoleh ke arah Dhike seraya berkata. "Ayu sudah siuman."
Semua tercengang mendengarnya. Stella yang saat itu sedang meneguk air putih pun ikut tersentak. "Yang benar?"
Lantas semuanya
menjadi sibuk, Melody memakaikan Syal dileher Dhike. "Kamu juga sedang
sakit. Kamu harus menjaga tubuhmu itu." Dhike tersenyum. Semuanya
bersiap siap menuju rumah sakit untuk menengok Ayu.
Rumah sakit,
siang hari. Kawanan Melody sudah sampai dikamar tempat Ayu dirawat.
Disana pun sudah ada kehadiran Sendy. Dhike tampak berkaca kaca
memandangi Ayu yang masih tergeletak. Didalam ruangan itu juga sudah ada
dokter yang akan menjelaskan keadaan Ayu. Dhike berjalan perlahan
menghampiri Ayu. Air mata bahagia sudah tidak bisa ditampung, Dhike
menangis dan segera memeluk Ayu.
"Terima
kasih sudah mau kembali ke dunia ini. Aku sungguh rindu denganmu. Hari
hari ku begitu menyeramkan tanpamu. Sekali lagi terima kasih." Kata
Dhike pada Ayu.
Lantas tidak
ada reaksi apa apa sama sekali dari tubuh Ayu. Ayu terdiam kaku dengan
pandangan menatap Dhike. Dhike keheranan. "Dok, ada apa dengannya?
kenapa tubuhnya kaku terdiam?" Tanyanya.
"Seperti
yang kalian lihat saat ini, Pasien memang sudah sadar, namun keadaannya
masih belum bisa dikatakan membaik. kami juga akan memeriksa pasien
melalui MRI (Magnetic Resonance Imaging) untuk memeriksa kelainan organ
pada tubuh pasien." Kata Dokter menjelaskan.
Melody
menghampiri Ayu dengan senyum. "Syukurlah kamu sudah siuman. Apa kamu
tau, Ikey selalu menemanimu disini. Ia merawatmu dengan baik, pagi dan
juga malam. Ia sungguh menyayangimu. Cepatlah sembuh dan buat Ikey
bahagia."
"Aku tahu
bahwa aku belum terlalu mengenalmu. Tetapi saat audisi waktu itu, aku
sadar bahwa kamu orang yang penuh dengan ketulusan. Aku harap kita bisa
menjadi sahabat kelak. Aku akan menunggunya," Kata Stella pada Ayu.
kini giliran Ve
yang mendekati Ayu. Ia memandangi Ayu, Ve menjadi salah tingkah. "Aku
binggung harus ngomong apa." Katanya diselipi tawa. "Namun yang pasti,
aku sungguh senang kamu kembali. Oya, jika kamu sudah benar benar sehat,
datanglah ke toko fashion milik Ibuku, disana banyak pakaian yang bisa
kamu pilih."
Stella berbisik
pada Melody setelah perkataan Ve barusan. "Apa Ve akan menjadikan Ayu
seorang model?" Terkanya. "Entahlah." jawab Melody sambil menggangkat
kedua bahunya.
Sendy
menghampiri Ayu dengan wajah yang pilu dan hati yang senang. Ia
menggenggam kuat tangan Ayu. "Bagaimana keadaanmu, peri kecil? Aku
sungguh rindu masa masa saat kita berdua bersama. Pertama kali kita
bertemu saat pembukaan audisi, aku juga sama kesepiannya denganmu. Aku
tidak bisa membayangkan wajah senangmu saat ku minta kamu untuk menjadi
teman ngobrolku. Aku ingin melihat wajah itu lagi darimu. Katamu, kamu
ingin mengubah hidupmu kearah yang lebih baik dengan mengikuti audisi
tersebut, namun kenyataannya, sahabat sahabat yang saat ini berada
disinilah yang akan mengubah hidupmu kearah yang lebih baik. Semua
mengkhawatirkanmu. Dikagumi oleh orang banyak atau mungkin menjadi tenar
bukan berarti hidupmu akan merasa bahagia, tetapi, orang orang yang
selalu mencemaskanmulah yang akan membuatmu merasa bahagia."
Lantas Sendy
menjadi mengingat masa lalunya saat pertama kali bertemu dengan Ayu, ia
sedikit tertawa. "Aku pernah bilang padamu untuk memanfaatkanku sebagai
teman terdekatmu, aku rasa ajakan ku waktu itu masih berlaku hingga
sekarang. Sebab aku tak takut jika dimanfaatkan oleh orang yang penuh
ketulusan sepertimu. Justru aku akan senang jika kamu lakukan itu
padaku." Senyumnya pada Ayu.
***
Sekitar pukul
sembilan malam, masih dikamar rumah sakit tempat Ayu dirawat. Diruangan
itu hanya ada Dhike serta Ayu, yang lain sudah pulang setelah puas
menjenguk Ayu. Tidak banyak hal yang bisa dilakukan Dhike, ia hanya
menemani Ayu dengan obrolan obrolan saja. Ayu pun tidak bisa apa apa,
tubuhnya tidak mampu bergerak, hanya kedua bola matanya saja yang
terbuka, namun Ayu bisa mencerna semua perkataan Dhike dengan baik.
"Apa kamu
masih ingat saat kamu membuatkan kue untukku? Kamu bersikeras membuat
adonan itu dengan tanganmu sendiri. Aku ingin membantumu saat itu, namun
kamu menolaknya. Kita berdua dimarahi habis habisan oleh orang tuamu.
Kita berdua sungguh nakal, bukan?" Kata Dhike setengah tertawa.
Dhike
meneruskan. "Oya, Apa kamu tau rasa dari buatan kue mu itu? Rasanya
sungguh asin. Aku sudah seperti mendapat kartu zonk darimu saat itu,
namun aku menghormati hasil kerja kerasmu membuat adonan itu, maka dari
itu aku memakannya sampai habis. Aku tidak bisa bayangkan saat wajahku
memakan kue yang begitu asinnya, dan juga lidahku seakan akan mati rasa.
Aku segera pamit saat itu juga, dan apa kamu tau apa yang aku lakukan
setelah ku pamit? Aku meneguk 3 gelas sekaligus. Itu semua karena
kamu."
Dhike
mendekatkan wajahnya pada Ayu, lantas ia mengelus ngelus rambut kepala
milik Ayu. "Hei, apa kamu sengaja melakukannya? Kamu sengaja ya membuat
adonan yang begitu asin untukku? Kamu jahat sekali!" Guraunya pada Ayu.
"Pokoknya, aku masih menantikan kue buatanmu pada saat itu. kamu harus
buatkan kue yang paling enak untukku, janji ya?"
"Kamu
bilang, kamu suka sekali jika rambutmu dielus seperti ini. Aku akan
melakukannya tiap malam sampai dirimu tertidur. Aku juga akan merawat
rambutmu ini agar tetap halus dan panjang." Senyumnya pada Ayu.
"Aku mohon,
jangan pernah membuatku merasa khawatir lagi. Jika dirimu menderita,
maka aku pun akan sama menderitanya dengan dirimu. Jika kamu bahagia,
mungkin aku akan lebih merasa bahagia. Seperti itulah yang aku rasakan
tentang dirimu. Kumpulkanlah semua energi dan tenagamu, karena jika kamu
sudah sehat nanti, ada banyak hal yang akan kita lakukan bersama sama.
Janji ya?"
Seketika
perasaan Ayu menyesak, ia sedih mendengar semua ucapan kakaknya saat
itu. Ayu ingin sekali mendekap padanya. Namun yang bisa ia lakukan
hanyalah menangis meneteskan air matanya. Tubuhnya tak berdaya. Dhike
segera mengusap air matanya, lalu mendekapnya erat.
"Kamu akan
berjanji padaku, kan? Jangan pernah membuatku menderita oleh air matamu
itu. Aku akan mengusapkanya untukmu. Aku akan buat hidupmu merasa
bahagia, hidup yang kita jalani berdua ..."
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar