beberapaHari kemudian ...
Hari hari
dimana Direktur Pelangi Entertainment idam idamkan kini datang juga.
Disebuah ruang seminar, gedung Pelangi Entertainment, para peserta
dengan angan angan tinggi serta wajah yang begitu antusias dikumpulkan
menjadi satu. Siapa sih yang tidak mau ikut berperan menjadi bintang di
perusahaan ternama tersebut. Akicha, Shiva serta Ayana duduk saling
berdekatan. Perasaan gelisah terus menghantui Ayana, Ia menunggu Haruka
saat itu, namun tak kunjung hadir. Ayana yakin, Haruka akan hadir dalam
casting tersebut, sebab, keinginan lebih menyeramkan dari harta
sekalipun.
Shiva menoleh
pada kakaknya, Akicha, Ia memegang erat tangannya untuk menghilangkan
rasa gugup yang menyelimutinya. "Kakak pasti bisa." Ucapnya.
"Kenapa kamu
bisa begitu yakin?" Balas seseorang. Shiva menoleh pada orang yang
memotong ucapannya, Ia terkejut senang bahwa orang itu adalah Sonya,
teman seperjuangan Shiva saat Audisi waktu itu. Shiva beranjak dari
kursi dan memeluk Sonya, Ia begitu rindu dengannya. "Apa kabar?"
Tanyanya. Kedua bola mata Shiva menjelajahi sekeliling. "Dimana Shania,
Cleo dan juga Jeje? Aku juga ingin bertemu dengannya." Tambahnya.
Mendengar
pertanyaan terakhir dari Shiva membuat hati Sonya terluka, Ia sadar,
diantara yang lain, hanya dialah yang belum bisa memenuhi angan yang
lain. Keinginannya yang kedua setelah menjadi dancer, yakni Aktris,
namun Sonya masih butuh waktu untuk memenuhi angan yang itu. "Mereka
sudah sibuk dengan bidang yang lain. Hanya aku yang masih terus
mengejarnya." Jawab Sonya.
Shiva jadi
tidak enak hati. "oh, gitu. jadi, kita akan kembali berjuang bersama
dalam Casting ini." Shiva menoleh pada Akicha. "Dia adalah kakak
kandungku, Akicha."
Lantas Sonya
tercengang mendengarnya. "kakak kandung? Aku kira kamu menyebutnya
'kakak' hanya untuk menghormati umur yang lebih tua. Jadi ..."
"Ceritanya panjang, kalau ada waktu akan aku jelaskan padamu dan yang lainnya." Potong Shiva.
Sebelumnya,
memang Shiva pernah bercerita bahwa Ia hidup seorang diri, maka dari itu
Sonya mendadak keheranan setelah tau bahwa sebenarnya Shiva mempunyai
saudara kandung.
Akicha beranjak
dari kursinya, Ia menghampiri Sonya. "Namaku Akicha, Senang berkenalan
denganmu." Katanya dengan senyumnya. Sonya membalas seyumnya. "Aku
juga."
"Dan aku Ayana, Aku harap kita bisa berteman baik." Kata Ayana.
"Tentu." Jawabnya.
Sebelum sesi
Casting dimulai, Direktur Pelangi Entertainment akan menyampaikan
sepenggal pidatonya pada para peserta. Ia berhadapan langsung dengan
ratusan peserta. Dalam pertemuannya kali ini, Direktur ingin semuanya
mengerti apa dari sebuah perjuangan dan juga mimpi.
"Bisakah
aku minta perhatiannya sebentar. Direktur akan menyampaikan sedikit
arahan pada kalian. Mohon didengar baik baik." Ucap kata pembawa acara.
Direktur
berjalan kedepan, Ia memandangi para peserta dengan sungguh sungguh. Ia
sempat melempar senyum dan kemudian mulai membuka mulutnya.
"Ketika
seseorang sudah mulai menua, Ia akan mengkhawatirkan hal sekecil apapun,
Baik itu masalah sepele atau mungkin masalah yang serius. Begitupun
dengan apa yang aku rasakan pada kalian, di umurku yang sudah menginjak
46 tahun, aku mulai sadar bahwa aku mulai mencemaskan orang orang yang
pernah aku bimbing di perusahaan ini. Yang muda tentu akan tua, dan yang
tua pasti pernah merasakan masa muda. Akupun sama seperti kalian, aku
mempunyai mimpi yang tinggi, dan aku sudah menggapai mimpi itu sekarang.
Berbagai suka dan duka pasti terjadi dalam sebuah perjuangan. Maka dari
itu aku merasakan betul apa yang kalian rasa, bagaimana jika kegagalan
menghantui kalian, atau mungkin betapa senangnya saat diri kalian
lulus." Kata Direktur.
Sebelum
Direktur malanjutkan omongannya, Ia berjalan kedepan untuk lebih dekat
dengan para peserta. Ia menaikkan tangan kanannya keatas. "Melalui
tangan ini, aku bisa menggenggam dunia dengan semangat. Aku bukan tipe
orang yang suka mendengarkan nasehat orang lain, aku keras kepala, dan
aku seorang pemberontak. Maka dari itu aku mempunyai banyak musuh
dikalangan orang banyak. Lantas mengapa saat ini aku bisa berdiri tegak
dihadapan kalian? Karena aku lebih mempercayai diri sendiri ketimbang
orang lain. Begitupun dengan kalian, Jika kalian ingin meraih mimpi yang
tinggi, maka kalian harus percaya dan mengacuhkan kritikan kritikan
yang muncul. Hari ini merupakan hari dimana kalian mempertaruhkan
kepercayaan kalian pada angan yang kalian idam idamkan."
Seorang peserta
berdiri dan memandang Direktur. Menurutnya, Ia tidak sependapat dengan
ucapannya barusan. Ia menatap angkuh pada Direktur. "Aku pernah membaca
buku, dan penulis buku yang aku baca merupakan penulis terkenal dan
dikagumi banyak orang. Dalam buku tersebut menyebutkan, jika seseorang
ingin sukses, maka dengarkanlah kritikan kritikan dari orang sekitar.
Namun kali ini, aku mendengar kalimat yang berbeda. Bisa Anda
jelaskan?"
Pertanyaan
orang itu membuat semua peserta begitu antusias mendengar jawaban
Direktur. Ini seperti perang sebuah prinsip. Direktur itu hanya bisa
membalas senyum padanya, Namun, Direktur itu berniat balik bertanya
padanya. "Sebelumnya, aku ingin bertanya padamu. Tindakan dan juga
perkataan, mana yang kamu lebih percaya?"
"Tindakan." Jawabnya singkat.
Direktur mulai
menjelaskan. "Ada kalanya seseorang memang harus menerima kritikan
untuk memperbaiki kesalahannya, itu benar, menang benar. Namun, untuk
menerima kritikan itu sendiri seseorang harus melihat situasi. Tidak
semua kritikan itu akan bersifat baik nantinya, daripada mengandalkan
sebuah kritikan yang diucapkan oleh orang lain yang masih diambang
ketidakpastian, lebih baik mempercayai diri sendiri. Aku yakin bisa
melaluinya, aku pasti sanggup dan aku ... Akan meraihnya melalui tangan
ini." Ucapnya dengan penuh emosional.
Semuanya kagum
mendengarnya, lagi lagi Direktur itu bisa membuat semuanya percaya bahwa
sesuatu yang dikerjakan harus penuh dengan kepercayaan masing masing.
Beberapa saat
kemudian, Setelah salam pembukaan selesai oleh Direktur Pelangi
Entertainment diruang seminar, Rica menemui Direktur di ruangannya. Rica
terlihat sungguh bergelora, gondok, hatinya meluap luap. Rica telah
menerima kekecewaan darinya, setelah sebelumnya memang Rica sudah benar
benar terpilih sebagai pemeran utama dalam Film tersebut, namun
keputusan tersebut ditarik kembali oleh Direktur.
"Apa aku
tidak salah dengar? Jadi, Anda telah membanding bandingkan diriku dengan
para pemula disana? Ini sungguh tidak adil." Kata Rica.
Direktur
membalasnya. "Seorang pembisnis melakukan keputusan dengan cara
menandatangani sehelai kertas berisi sebuah kontrak, lantas kita belum
pernah melakukan hal itu, jadi aku berhak mengubah keputusan tersebut."
Rica tidak mau
kalah, Ia berusaha membuat omongannya dipertimbangkan. "Walaupun kita
tidak pernah melakukan penandatanganan kontrak, tapi apa anda lebih
mempercayai orang yang bahkan bisa dikatakan amatiran diluar sana
dibanding dengan diriku yang sudah mendapat banyak pernghargaan?"
"Kelebihan
mu membuat keserakahan timbul, aku takut jika kamu menerima kekecewaan
dikarenakan ketamakanmu. Orang yang berbaik hati mempersilahkan orang
lemah mendahuluimu, maka harga diri serta kelebihanmu akan diakui
keberadaannya oleh orang lain. Apa kamu mengerti maksud dari ucapanku?"
Kata Direktur menasehati Rica.
Rica semakin
melawan, bagaimanapun Rica sungguh kecewa dengan langkah yang diambil
oleh Direktur. Rica begitu antusias untuk bisa menjadi pemeran utama
dalam film tersebut, sebab menurutnya film itu benar benar langka serta
jalan cerita yang diambil sungguh jarang. Rica akan memanfaatkan
keharuman namanya melalui Film tersebut. "Aku masih belum mengerti
dengan Ucapanmu, namun yang pasti, aku tidak akan tinggal diam jika
sampai aku tidak ikut berperan dalam Film itu. Anda yang sudah menaruh
harapan dan menjunjung tinggi kelebihanku sejak lama, maka Anda mesti
harus terus memakaiku. Aku permisi dulu." Kata Rica sembari mengakhiri
percakapan mereka. Direktur yang mendengar ocehan Rica hanya bisa
tertawa tipis.
Sebelum Rica
melewati pintu keluar, Rica menjumpai Melody yang sepertinya Direktur
memanggil Melody ke ruangannya. Tatapan sinis Rica melonjak memandang
Melody, Sedangkan Melody hanya mengacuhkan keberadaan Rica dan terus
berjalan menghampiri Direktur.
"Aku sudah disini, Ada perlu apa anda memanggilku?" Kata Melody.
"Duduklah." Kata Direktur mempersilahkan Melody duduk berhadapan dengannya.
"Seperti
yang kamu lihat barusan, dan kenyataannya pun sepertinya aku memang
harus mengulang Casting untuk Film itu. Aku bukannya tidak mengakui atau
menghormati keahlianmu, hanya saja aku ingin membuat sesuatu yang beda.
Aku harap kamu bisa menerima keputusanku ini." Kata Direktur.
Melody hanya
bisa tersenyum memakluminya. "Tidak apa apa. Aku tidak
mempermasalahkannya, hanya saja, bagaimana anda akan menghadapi aktor
atau aktris yang lain? Seperti wanita yang barusan saja keluar dari
ruangan anda." Tanya Melody menyindir keberadaan Rica.
Direktur
menghela nafas. "Sesuatu yang sudah menjadi tempatnya bertahun tahun
memang sulit untuk digusur, aku akan terus menjelaskannya dikemudian
hari. Lagipula aku bukannya tidak akan memakai dirinya, yang kulakukan
hanyalah mengulang Casting tersebut." Jawab Direktur.
Suatu kebetulan
ketika Melody hadir disitu, sebab tujuan Direktur memanggil Melody
bukanlah untuk menyampaikan keputusan perihal ulangan Casting. Namun ...
"Masuklah!" Perintah Direktur pada seseorang dari balik pintu ruangannya.
Melody
keheranan, Ia menoleh ke arah pintu. Wanita yang berada dibalik pintu
itu masih cukup muda, wajahnya simetris, ukuran tinggi badannya membuat
siapa saja Iri akan sosoknya, alisnya tipis, matanya agak sipit,
wajahnya yang manis membuat orang geram untuk mencubit cubit pipinya.
Wanita itu menghampiri Direktur dengan penuh hormat.
Direktur akan
mulai memperkenalkan wanita barusan pada Melody. "Mulai sekarang, dia
yang akan memimpin jalannya proses pembuatan Film, dari mulai tahap
produksi hingga jadwal penayangan."
Wanita itu
mulai bersuara. "Nama lengkapku Rena Nozawa, aku akan membimbing proses
jalannya suatu produksi Film. Namun sebelumnya, aku perlu beradaptasi
dengan keluarga Pelangi Entertainment. Aku pun masih belum terlalu
menguasai bahasa Indonesia sepenuhnya, aku mohon bimbinggannya." Kata
Rena pada Melody dengan senyumnya.
Direktur
menambahkan Biodata dari Rena pada melody. "Dia baru 2 tahun berada di
Indonesia. Dan dia merupakan putri bungsu ku. Aku sudah semakin menua
sehingga aku mulai mengeluh menjalani perusahaan sebesar ini, maka dari
itu aku memperkerjakan putri ku sendiri. Dia masih bersekolah, jadi
akupun meminta bantuanmu untuk saling membimbing satu sama lain."
Melody manggut manggut dari balik wajah heran serta rasa kejutnya akan putri dari Direktur sendiri. "aku mengerti."
Melody berjalan
jalan mengelilingi ruangan gedung Pelangi Entertainment bersama dengan
Rena. Tempat utama yang Melody kunjungi yakni, ruang produksi. Melody
menoleh pada Rena. "Ini merupakan ruang produksi sebuah Film.
Sebenarnya, masih ada 2 ruangan lagi yang seperti ini. Banyaknya Film
yang akan diproduksi membuat perusahaan ini membangun 3 rumah produksi
di gedung yang sama. Sutradara beserta para kru nya menghuni ruangan
ini." Kata Melody menjelaskan.
Rena
menggangguk. Sebelum Melody melanjutkan ruangan yang lain, Rena mulai
membicarakan hal pribadi pada Melody. "Sepertinya hubunganmu dengan
Ayahku berjalan cukup dekat. Jarang sekali Ayah mempercayai yang bukan
keluarganya untuk menyerahkan tugas ini." Kata Rena berlebihan, seolah
olah Rena masih meragukan kepercayaan Melody untuk membimbing Rena.
Melody masih
bisa bersabar mendengar perkataan Rena dengan hanya membalasnya dengan
senyum. Mereka melanjutkan kunjungannya keruangan lain. Kini Melody
mengajak Rena untuk melihat lihat ruangan Penulis.
Melody kembali menjelaskan. "Dan ini ..."
Rena Memotong
omongan Melody. "Ini ruangan penulis. Berbagai naskah dikerjakan disini.
Naskah berperan sangat penting dalam berjalannya sebuah Film."
Melody menjadi
salah tingkah, tujuannya menjelaskan setiap ruangan yang ada, namun
sepertinya Rena sudah menguasai hampir setiap bagian dari Production
House.
Rena menyadari
kecanggungan Melody akan tindakannya barusan. Rena pun menjadi tidak
enak hati, bagaimanapun Melody yang saat ini menjadi pemandu bagi Rena.
Tidak enak rasanya mengambil tugas dari seorang pemandu. "Aku minta
maaf. Mulutku ini terkadang memang suka banyak bicara."
Melody ngedumel dan memperjelas tindakan Rena. "Cerewet." Katanya dengan nada rendah.
Rena mendengar
ocehan Melody barusan. "Cerewet?" Tanyanya, sebab Rena memang belum
menguasai bahasa yang sering digunakan masyarakat pada umumnya atau
gaul.
"Oh, bukan apa apa." Jawab cepat Melody yang seketika menjadi salah tingkah akibat ulahnya sendiri.
Kebawelan Rena
kembali kambuh, Ia pun berniat kembali menanyai kehidupan pribadi
Melody. "Apa kamu punya adik? atau mungkin kakak? Berapa umurmu? Kapan
kapan apa aku boleh mengunjungi kediamanmu?"
Melody menghela
nafas. Dengan berat Melody menjawab. "Aku mempunyai adik, golongan
darahku O, dan aku lahir pada tahun sembilan dua. Apa ada lagi yang
ingin kamu tanyakan?"
Rena menggangguk. "Apa kamu punya pacar?"
"Tidak." Jawab singkat Melody.
"Kalau begitu, seperti apa pria idamanmu?" Tanyanya kembali.
"Laki laki."
Rena mendengus
panjang. "Semua pria itu laki laki. Maksudku, seperti apa postur
tubuhnya, tinggi, berotot, pintar atau mungkin semacamnya."
Melody mulai
geram sambil memegang kepalanya, Ia sudah tidak tahan berada disamping
Rena. "Begini saja, mari kita selesaikan pekerjaan ini dulu, setelah
itu, kamu boleh menanyai apa saja denganku."
"Oke! Siap Mbak Melody." Teriaknya.
Melody terkejut serta heran. "Mbak? Kamu tahu darimana kata itu?"
"Dari
tetangga rumahku. Dia bilang jika aku melihat wanita yang lebih tua
dariku maka aku harus memanggilnya 'Mbak'." Sahut Rena.
Melody memancarkan wajah yang dongkol. "Baik, terserah apa katamu."
Melody mengoceh
dengan nada pelan. "Kalau bukan karena perintah Direktur, Aku mungkin
sudah menyerah kali ini. Dengan sifatnya yang sekarang, Apa mungkin dia
bisa mengatur perusahaan sebesar ini?" Keluhnya.
Suatu hari
Dhike mengunjungi gedung Pelangi Entertainment untuk bertemu dengan
teman temannya, Dhike tidak sendirian, Ia mengajak Ayu. Tujuan Dhike
berkunjung hanya satu, yakni menunjukkan kesehatan Ayu pada temen
temannya. Sebab, Dhike tidak lupa dengan apa yang sudah mereka lakukan
untuk Ayu saat dirumah sakit. Dhike tidak lupa mambawa buah tangan
berupa buah buahan.
"Hai, Stell,
Ve." Panggil Dhike yang menemui Stella, Ve diruang rekaman. Disebelah
Dhike, Ayu hanya bisa menyapa dengan senyuman.
"Ikey!"
Teriak Ve memeluk Dhike. Ve menoleh pada Ayu. "Bagaimana keadaanmu? Kamu
terlihat sudah sehat. Berarti apa boleh aku mencubit pipimu itu?"
Guraunya.
"Jangankan mencubit, menggigit juga tak apa." Sahut Ayu setengah tertawa.
Stella berjalan
menghampiri Dhike. "Aku senang kamu datang mengunjungi kami kemari."
Kemudian Stella menoleh ke arah Ayu. "Dan juga ... Selamat atas
kesembuhanmu."
Ayu hanya bisa
terdiam tersenyum. Kenyataannya, Ayu masih belum bisa hidup tenang,
suatu saat hal yang tidak diinginkan akan tiba.
Dhike melihat kanan kiri mencari keberadaan Melody. "Si Mel kemana?"
"Aku dengar barusan bahwa Ia menjadi pemandu anak dari Direktur untuk menjelaskan tiap ruangan di gedung ini." Kata Ve.
Stella menyerobot. "Direktur pasti sungguh menyanyangi Melody. Ia menyerahkan pekerjaan itu padanya. Dimana para asistennya?"
Dhike
menjelaskan dan memahaminya. "Siapa sih yang tidak suka dengan sosok
Melody. Aku pun merasa nyaman berada didekatnya, sifatnya yang keIbuan
membuat hati tentram."
Tiba tiba saja
Ayu merasakan pusing yang sungguh kuat dikepalanya, sanking sakitnya Ayu
bahkan sempoyongan. Pandangannya sedikit demi sedikit merabun, Ayu
menggeleng geleng kepalanya agar pandangannya jelas. Ve yang melihat
tingkah Ayu merasa keheranan. "Ada apa?" Tanyannya.
Ve menoleh pada Stella, Dan Stella hanya bisa mengangkat kedua bahunya.
Dhike menetap Ayu dari dekat, Ia sungguh panik. "Apa yang kamu rasakan?" Tanya Dhike.
"Kepalaku sungguh pusing. Aku ingin pulang saja." Keluh Ayu.
Dhike cepat
cepat berpamitan dengan Stella dan juga Ve. "Aku minta maaf, sepertinya
aku harus mengantar Ayu pulang. Sampaikan saja salamku pada Melody."
Dhike memberi buah tangan pada Stella. "Makanlah buah ini agar kalian tetap sehat." Tambahnya.
Dhike merangkul
tubuh Ayu yang setengah sempoyongan. Ve memandang Iba kehadiran Ayu.
"Sungguh kasihan, apa dia belum sembuh total? Umurnya masih sangat muda,
masih banyak kegiatan yang seharusnya Ia lakukan."
"Akupun
kasihan dengan Dhike. Kecemasannya pada Ayu membuat hidupnya tidak
pernah nyaman. Aku bahkan ingin mengajaknya masuk ke dunia Hiburan,
tetapi melihat keadaannya yang sekarang membuat ku berpikir dua kali."
Kata Stella.
Bersambung ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar