Kemampuan
manusia memang selalu ada batasnya. Hal yang kita anggap mustahil
mungkin bisa saja dengan mudahnya dilakukan oleh orang lain melalui
bakatnya. Namun bagi mereka yang tidak berbakat, apa bisa melakukannya?
Dengan bekerja keras, niat yang kuat, apa hanya itu saja sudah cukup?
Ini sama saja berjalan tanpa sepasang kaki, Pikir Sonya. Tepat didepan
sebuah pintu masuk menuju ruang casting, perasaan gelisah serta gugup
membayang banyangi Sonya. Diantara teman satu kawanannya, hanya dialah
yang tertarik untuk mengikuti casting sebuah Film.
Disaat yang
bersamaan, Sonya harus menerima kenyataan bahwa orang yang membuat kesal
mesti harus berada diruang casting yang sama. Rica berada diposisi
nomor 47, sedangkan Sonya ada di angka 48. Mereka berdua bersama disatu
ruangan casting. Dipimpin oleh seorang sutradara yang sudah sangat
berpengalaman dalam menilai kualitas akting dari para peserta.
Sonya maupun
Rica, keduanya diberikan sebuah naskah berukuran satu lembar halaman
untuk mempelajari adegan yang akan mereka tunjukkan. Naskah tersebut
berisikan watak tokoh, meliputi prontagonis (tokoh yang menampilkan
perilaku baik) yang jatuh pada diri Rica, sedangkan antagonis (tokoh
yang berperilaku jahat ) ada pada peran Sonya. Setelah diberikan waktu
selama lima menit untuk mencerna tulisan dari naskah tersebut, mereka
dituntut untuk bisa melakukan sandiwara dengan sebaik baiknya.
"Dalam hal
ini, Saya akan menilai akting kalian berdasarkan 5 faktor, yakni
konsentrasi, imajinasi, emosi, penghayatan serta artikulasi. Pahami
betul apa yang tertulis dinaskah dan lakukanlah seolah olah kalian
berada ditengah tengah cerita tersebut. Apapun adegan yang akan kalian
lakukan, jangan pernah takut atau malu malu dalam menyampaikannya,
karena saya tidak akan segan segan untuk menendang kalian dari dunia
akting. Aktris? Jangan harap memimpikannya jika kalian sendiri tidak
bisa menggapainya dengan sungguh sungguh." Kata Sutradara memberi
sedikit arahan.
Sutradara itu
siap untuk menghitung mundur, Sonya serta Rica pun sudah ada diposisi
masing masing. Sonya menarik nafas dalam dalam, ia memandang tajam Rica,
dan berpikir bahwa dia bisa melakukannya dengan baik.
"3...2...1... Action!"
Dalam naskah
tersebut, Rica berperan sebagai pemeran utama yang disandera oleh pihak
oposisi, yakni Sonya. Sonya mulai berimajinasi, ia menggerakkan
tangannya seperti sedang menodong pistol kearah Rica, Sonya memasang
wajah killer serta tatapan yang amat tajam. Sonya mulai mengucapkan
dialognya.
"Apa yang
dilakukan rekan rekanmu saat ini sudah tidak ada artinya. Kini nyawamu
sudah ada dalam genggamanku. Seberapa keras kamu memohon padaku, aku
tidak akan sedikitpun untuk mengampunimu. Dengan pistol ini, aku akan
membuat dunia ini tunduk. Aku akan mulai menyingkirkan orang orang yang
sudah menghalangiku dengan tanganku sendiri." Ucap Sonya bersandiwara,
masih belum terlihat emosi yang cukup dari wajah Sonya dalam
menyampaikan dialog, pikir Sutradara.
Rica membalas
Dialog Sonya. Dalam sekejap Rica bisa membuat matanya tampak berkaca
kaca memandang tajam Sonya. "Mengapa kamu berubah jadi seperti ini? Aku
ini temanmu yang sama sama menjalani kesusahan bersama dimasa lalu. Kamu
pernah bilang, bahwa kamu akan mengubah dunia kejalan yang lebih baik
dengan mengusir orang orang jahat, namun kenyataannya kamu pun ada
diposisi orang jahat tersebut. Apa dengan membalas dendam maka kamu akan
bahagia? Apa yang akan kamu lakukan setelah balas dendam? Bunuhlah aku,
bukankah aku sudah tidak berguna lagi? Cepat bunuh aku!" Teriak Rica
dalam tangisnya.
Konsentrasi
Sonya buyar, ia begitu kagum oleh akting Rica saat itu, sampai sampai
dialog yang akan diucapkan Sonya malah tak ia ucapkan. Membuat Sutradara
membentaknya. "Apa yang kamu lakukan? Kenapa diam saja?"
"Maafkan
aku..." Balasnya. Rica memandang tajam Sonya, kali ini mereka sedang
tidak dalam sandiwara. Rica mendesis. "Aktingmu sungguh buruk, Kamu
hanya akan membuang banyak dana dalam pembuatan Film itu."
Sonya mengepal
kedua tangannya, ia kesal namun tidak ada kalimat yang akan membantunya
membalas Rica, Sonya sadar bahwa ia tidak ada apa apanya dibanding Rica.
Sonya hanya terdiam dibalik wajah mendungnya.
Tidak ada
adegan ulangan, Lantas sutradara tersebut menyoreng nama Sonya dari list
dengan kejamnya. Rica yang ada disebelahnya malah memanas manasin
Sonya. "Dunia Entertainment sungguh kejam, bukan? Mereka yang tidak
berbakat akan segera ditendang pahit pahit. Aku akui bahwa kamu mahir
dalam dunia tari, namun kamu tidak bisa menguasai duniaku, aku pastikan
bahwa aku yang akan menjadi pemeran utama dalam film tersebut." Kata
Rica pada Sonya sambil meninggalkannya.
Sonya masih
terdiam ditempatnya, kemudian ia menghampiri Sutradara itu dengan wajah
kesalnya. "Apa anda juga berpikiran bahwa yang tidak berbakat akan
mustahil melakukannya? Apa anda bisa menjelaskan itu padaku?" Tanyanya.
"Saya tidak
berpendapat dengan apa yang kamu bilang barusan. Hanya saja dalam hal
ini, pengalamanlah yang paling penting." Jawabnya singkat.
Sonya tetap
tegar, pendiriannya tidak dapat diubah dengan mudah, ia kembali melawan
sutradara yang ada dihadapannya. "Aku tahu bahwa aku ini pemula, dan
bahkan aku sama sekali belum mendapatkan penghargaan dibidang itu,
tetapi apa anda tidak dapat mempertimbangkannya? Bukankah anda juga
belum tahu pasti bahwa yang berpengalaman akan selalu mendapat rating
tinggi? aku tahu anda sudah sangat berpengalaman menjadi sutradara
bertahun tahun dan banyak menerima penghargaan, namun apa anda yakin
bahwa Film yang akan anda buat akan selalu berada diposisi pertama?
Tidak, bukan? Maka dari itu ..."
"Maka dari itu apa?" Potong sutradara dengan membentak Sonya.
"Jangan
terus memaksakan dirimu. Ada ratusan bahkan ribuan orang berbakat yang
Pelangi Entertainment naungi, aku tidak perlu susah susah mempertahankan
mu, aku bisa mencari orang lain. Jika kamu merasa dunia ini tidak adil,
maka lawanlah dunia itu dengan berlatih keras. yang kamu bilang barusan
benar, kemauan bisa mengalahkan bakat dengan terus latihan, maka kamu
akan mulai terbiasa." Tambahnya.
Diruangan lain,
Shania mengendap ngendap masuk kedalam ruang pembuatan Naskah Film.
Didalam sana sudah ada lima orang penulis yang masing masing pernah
mendapatkan penghargaan sebagai penulis dengan penjualan karya terbanyak
tiap tahunnya. Kedua mata Shania menjelajahi isi ruangan, semua penulis
sibuk mengerjakan tugas pembuatan naskah Skenario Film. Tepat lima
langkah dari arah kanan Shania, ia melihat sosok wanita yang agak kumel,
rambutnya tidak tertata dengan rapih, kelopak matanya pun membersar,
bahkan ruangannya pun tidak terurus, cup mie instan serta kaleng minuman
bersoda berserakan. Walau begitu, sosok yang dilihat Shania merupakan
penulis yang hebat dan sudah mendapat banyak penghargaan.
Penulis
tersebut masih belum mengetahui keberadaan Shania yang tepat ada
dibelakangnya. Tatapannya sungguh tajam menatap layar monitor, kemudian
pikirannya melantur tidak jelas. "Dengan kedua tangan ini, aku akan
membuat Film Indonesia maju dan berkualitas. Mereka yang tidak tahu seni
tidak akan bisa melawan ku, mereka hanya mengutamakan dan menyiarkan
genre genre cinta yang sudah muak aku tonton. Diruangan ini, saat ini
juga, aku akan membuat sebuah genre yang bahkan jarang sekali ditemui di
perfileman Indonesia. Aku memadukan naskahku antara perasaan, hayati,
kenyataan serta pendirian. Dunia ini ada didalam genggamanmu, maksudku
genggamanku. Hahaha..." Ucapnya sambil terbahak bahak dengan ekspresi
bangor.
Shania merasa
segan bertemu dengan penulis tersebut, ia menghampirinya perlahan.
Dengan perasaan malu serta gugup, Shania memberanikan dirinya untuk
bertemu. "Emm.. Maaf mengganggu." Penulis tersebut menoleh Shania tajam.
"Ada apa? Apa kamu tidak lihat aku sedang sibuk menulis naskah?"
Katanya tak acuh.
"Tolong
ajarkan aku menulis, Guru!" Pekiknya. Lantas penulis itu terkejut. "Gu..
Gu .. Guru? tadi kamu bilang guru?" katanya girang. Shania menggangguk.
"Iya, Guru. aku sangat mengagumi semua karyamu. Aku bahkan mengoleksi
setiap Novel yang anda tulis. Aku tidak pernah ketinggalan dalam
mengoleksi semua karya mu."
Dengan perasaan
tidak percaya, penulis itu memegang kedua bahu Shania. "Panggil saja
aku nyonya Lia. Baru kali ini aku mempunyai murid. Jadi, apa benar kamu
tertarik dalam pembuatan naskah? Bidang apa yang sudah kamu jalankan
sebelumnya?" Tanyanya pada Shania.
"Aku sangat
tertarik dalam pembuatan naskah. Saat ini baru satu bidang saja yang aku
jalankan, yakni bidang musik bergenre pop bernama JKT48 dan merupakan
saudari AKB48 di Jepang. Kalo memang nyonya Lia mau mengajarkan ku, aku
akan mengatur jadwalku, padi sampai siang aku bersekolah, sorenya aku
ada jadwal Theater, dan malam mungkin aku ada latihan. hmm ... Rabu,
kamis dan sabtu pada malam hari aku tidak ada jadwal sama sekali. Maukah
kamu mengajariku?" Kata Shania.
Kemudian Nyonya
Lia memegang erat kedua telapak tangan Shania, wajahnya menunjukkan
angan angan yang tinggi pada Shania. "Dengan kedua tangan ini, mari kita
sama sama mengubah dunia yang membosankan ini dengan sesuatu yang
berbeda." Lantas Shania menggangguk antusias.
Beberapa saat kemudian ...
Dengan mulut
cemberut, Sapu ijuk ditangan kanannya, serta plastik besar berisikan
bungkusan sampah makanan, Shania mengeluh. "Tidak seperti ini juga kali.
Kenapa aku harus membersihkan ruangan Nyonya juga? Dan kenapa tugasku
hanya merevisi naskah yang sudah jadi saja?"
Dengan
santainya Nyona Lia membalas. "Sudah jangan banyak mengeluh. Jika kamu
ingin mengambil hati seseorang, kamu harus membuat orang itu merasa
senang serta nyaman. Aku akan mengajarkanmu secara perlahan nanti."
***
Sudah tiga hari
ini hujan lebat disertai petir pada malam hari sering sekali terjadi.
Langit sungguh kelam, percikan kilat datang dengan cepatnya, disertai
gemuruh petir yang menyebabkan daratan bergetar. Dibalkon apartemen
milik Haruka, Shiva berdiri memandang langit yang suram. Ia merasa
kehidupan yang ia jalani masih belum seperti yang ia harapkan. Mau tidak
mau kita harus menerima kenyataan bahwa manusia tidak lepas dari yang
namanya keserakahan, kesandiwaraan, serta kebohongan.
Shiva memang
sudah mengubur rasa balas dendamnya dalam dalam, namun hatinya tetap
merasa tidak tenang. Ia selalu dibayang bayangi rasa kegelisahan akan
hidupnya, entahlah apa yang membuatnya bisa merasa tidak nyaman seperti
itu.
Saat aku
kecil dulu, Ibu pernah bilang bahwa aku harus menjadi orang yang sukses.
Aku harus menjadi orang yang dikagumi, dipuji dan disenangi oleh orang
banyak. Saat ini aku masih belum bisa mencapainya, Bu. Tetapi, aku akan
berusaha menepati janjiku padamu. Pertama tama, aku akan mencari sebuah
modal dengan bekerja bersama temanku saat ini, jika ada modal maka aku
akan lebih mudah menjalankan apa yang aku mau dalam mengejar tujuanku.
Kali ini, aku berjanji tidak akan ada air mata disekitarku.
Aku sudah
memikirkannya matang matang, aku sudah mempunyai jalan untuk menaklukan
dunia ini. Aku akan berada ditengah tengah topeng kesandiwaraan, aku
tidak tahu bahwa trik yang aku gunakan kotor atau tidak, namun aku akan
balas sandiwara dengan sandiwara.
Shiva berdiri
terpaku ditempatnya. Sudah satu minggu ini hidupnya dibayang bayangi
oleh penguntit, lagi lagi ia melihat sosok wanita berambut panjang yang
ada di kursi taman bawah sana. Sesaat kemudian ponsel Shiva bergetar, ia
segera membaca sebuah pesan baru.
"Kamu tidak
akan bisa hidup tenang setelah membuangku pahit pahit. Kamu
menelantarkanku, kamu tidak pernah sedikitpun memperhatikanku dan
menjagaku. Akan aku pastikan hidupmu akan sama menderitanya denganku."
Begitulah isi pesan tersebut.
Setelah membaca
pesan tersebut, Shiva memandang sosok wanita itu. Dia jadi binggung. Ia
mengira ngira bahwa pesan yang barusan datang berasal dari wanita
ditaman itu. Shiva bergegas turun menggunakan lift. Ditangah hujan yang
lebat, dalam hitungan detik semua tubuhnya basah kuyup. Ia berlari
ketempat wanita barusan singgah. Mereka berdua sama sama dibawah guyuran
hujan dan petir yang besar.
Wanita
misterius tersebut menundukkan kepalanya, sulit bagi Shiva menatap
wajahnya, dan rambut panjangnya yang basah menutupi sebagian mukanya.
Shiva menuruni sebagian tubuhnya dan menatapnya, tetap ia tidak bisa
melihat wajahnya dengan jelas. Dan tidak sengaja pandangannya jatuh pada
sebuah tanda lahir tepat dileher wanita yang ada dihadapannya.
Sepertinya ia mengenal dengan tanda itu, Shiva kembali mengingat
ngingat.
Dan seketika
tubuhnya mendadak bergetar, Shiva tercengang, matanya membelalak menatap
wanita itu. "Ka.. ka ..Ka.. Kamu ... Tidak mungkin!" Sesegera Shiva
meninggalkan tempat itu, namun lenggan Shiva ditarik paksa dan dikunci
kuat agar Shiva tidak melarikan diri.
"Benar! Aku
adalah kakakmu yang kamu tipu. Kamu menyembunyikan fakta bahwa orang tua
kita mengalami kecelakaan dengan berpura pura mengatakan bahwa mereka
sedang berada disuatu tempat untuk menjalankan bisnis. Setelah
kecelakaan itu terjadi, sesegera kamu mendatangi sekolahku dan berkata
bahwa kedua orang tua kita pergi keluar kota untuk menjalankan bisnis.
Sedangkan kamu membawaku paksa ketempat rumah panti asuhan yang sangat
jauh. Aku masih bisa percaya padamu, tetapi mengapa sudah bertahun tahun
Ibu dan Ayah tega menelantarkan anaknya dengan begitu mudah."
Shiva bertemu
dengan kakak kandungnya sendiri, yakni Akicha. Ia masih tercengang,
serta gugup. "Ka..Kak...Kak Akicha mohon dengar penjelasanku."
"Sudah lima
tahun lamanya, lima tahun adalah waktu yang cukup lama. Aku mencari tahu
apa yang sedang terjadi, aku melarikan diri dari pantu asuhan yang
sudah memperlakukanku dengan kejam. Dan aku harus menerima kanyataan
bahwa Ibu dan ayah sudah tiada. Dan sekarang aku masih harus dengar
penjelasanmu itu?" Teriak Akicha ditengah tangisnya.
Shiva tampak
berkaca kaca, Ia berusaha menjelaskan pada Kakaknya. "Aku hanya tidak
ingin kamu terluka mendengar kejadian itu. Saat kenaikan kelas, aku
minta dibelikan tas baru pada Ayah, dan hari esoknya Ayah dan Ibu
menuruti kemauanku untuk membeli tas. Namun saat perjalanan kembali
kerumah, Ayah dan Ibu mengalami kecelakaan. Aku merasa bersalah, aku tak
henti hentinya menangis."
Dan kemudian
Akicha memegang bahu Shiva kuat kuat, pandangannya begitu tajam. "Apa
kamu tahu kehidupan seperti apa yang sudah aku lalui di panti itu?
Mereka memperlakukanku layaknya binatang, mereka memperkerjakanku
seperti pelayan. Mereka merendahkanku, menginjakku dan memukuliku.
Tubuhku sudah mau hancur bila terus berada disana. Dan kini, aku masih
harus menerima berita bahwa Ibu dan Ayah ..." Akicha tidak sanggup
melanjutkannya, Ia menangis hebat, Ia merasa tidak terima. hatinya
begitu terpukul.
Tepat
dibelakang mereka berdua, Haruka memperhatikan dengan perasaan prihatin.
Haruka terbangun saat Shiva membuka pintu apartemennya dengan kencang.
Seperti dugaan Haruka, Shiva adalah orang yang penuh penderitaan,
terlihat jelas pada pancaran wajahnya saat menatapnya.
Begitu
banyak orang orang yang menderita didunia ini. Aku begitu sadar bahwa
Sebuah kekayaan atau suatu pangkat tidak ada artinya dibanding
kebersamaan. Kehidupan yang mereka jalani penuh liku dan penderitaan.
yang satu berusaha membuat kakaknya tenang dengan menyembunyikan berita
perihal kedua orang tuanya, dan yang satu berusaha memahami keadaan
orang tuanya dengan menuruti apa kemauan adiknya untuk tinggal disebuah
panti asuhan. Dan mau tidak mau pada akhirnya mereka berdua harus
menerima kenyataan pahit.
Haruka menghampiri keduanya, ia melindungi keduanya dengan payung besar yang ia pegang.
Tidak lama kemudian ...
Shiva serta
Akicha ditempatkan diruang santai diatas sofa yang hangat di apartemen
miliknya, Dimeja sudah tersedia dua cangkir teh hangat. Rambut masing
masing dari keduanya masih terlihat basah, walau sudah diselimuti oleh
handuk tebal disekujur tubuhnya, mereka masih terlihat menggigil.
Keduanya sama sama berwajah mendung. Tak tampak keberadaan haruka saat
itu, Haruka sengaja menghindar agar keduanya merasa nyaman mengobrol.
"Apa kamu merasa bahagia setelah melakukannya? Kini kamu hidup mewah serta bahagia disini, bukan? Sedangkan aku ..."
Shiva memotong
omongan Akicha. "Ini semua tidak seperti yang kamu bayangkan. Aku juga
sama menderitanya denganmu. Hidupku seperti penuh dengan kutukan, tiap
jam nya aku tidak pernah merasa nyaman. Setiap apa yang aku lakukan
selalu berakhir tragis. Aku bahkan pernah ingin mengakhiri hidupku
dengan cara keji. Kalau saja tidak ada yang menghalangiku saat itu,
mungkin aku tidak akan berada disini."
Akicha terisak.
"Mereka masih sama sama yang melahirkan kita, namun kenapa kamu tega
menyembunyikan kepergiannya? Aku bahkan belum sempat berdoa untuk Ibu
dan juga Ayah, aku juga belum pernah menghadiri pemakamannya. Kenapa
kamu tega sekali, kenapa ... Kenapa! Cepat jawab aku!" pekik Akicha
dengan wajah kesalnya, ia pun memukul mukul bahu Shiva dengan keras.
Shiva sadar bahwa ia telah mengambil langkah yang salah, pemikirannya
saat dulu tidak seperti pemikirannya yang sudah dewasa seperti sekarang.
Shiva pun termakan suasana, Ia ikut menangis melihat kakaknya menderita. "Aku minta maaf, sungguh ..."
Akicha kembali
menceritakan kehidupan pahitnya. "Aku berdiri ditengah orang orang yang
suatu saat bisa menginjakku, Aku merasa aku sedang berada dineraka, Aku
tidak sanggup terus berada dipanti asuhan itu, Aku berhasil melarikan
diri dan tinggal disebuah Stasiun kereta api ditengah udara malam hari
yang begitu dingin. Dan saat aku mengunjungi rumah lama kita, tidak
nampak keberadaanmu disana, rumah itu sudah ditempati oleh pemilik baru.
Aku mencoba menghubungi tetangga lama kita, mereka bilang kamu tinggal
disebuah kosan. Aku segera mendatangi kediamanmu, dan hatiku sungguh
ambruk begitu mendegar bahwa kamu hidup sendiri dan bahkan kamu
berbohong pada semua orang kalau kamu tidak mempunyai saudara. Apa kamu
ingin aku lenyap dari dunia ini?"
Shiva mendekap
erat tubuh kakaknya itu, air matanya terus mengalir. "Aku sama sekali
tidak berniat melupakanmu, hanya saja aku begitu takut jika suatu saat
aku akan bertemu denganmu setelah kebohongan yang aku ucapkan padamu
mengenai orang tua kita. Aku terpaksa berbohong pada semua orang, jika
aku jujur mereka akan terus menanyai keberadaanmu, aku binggung harus
bilang apa pada mereka, maka dari itu aku berbohong pada mereka bahwa
aku adalah anak satu satunya. Kak... Kini kita sudah bersama sama,
maukah kakak tinggal bersamaku?"
Daribalik
tembok kamar apartemennya, Haruka bersandar mendengarkan percakapan
Shiva dengan Akicha. Haruka pun ikut terpukul hatinya setelah mengetahui
bahwa Shiva mempunyai saudara kandung setelah sebelumnya Shiva berkata
bahwa ia hidup seorang diri.
Kebohongan
hanya akan membuat segalanya terasa sulit. Kebohongan membuat luka
muncul setelah tahu apa yang terjadi sebenarnya. Kebohongan bukanlah
suatu jalan pintas agar semuanya membaik, namun dengan adanya
kebohongan, itu hanya akan membuat goresan luka semakin melebar. Aku
akan memaklumi kebohongannya untuk saat ini, namun jika Ia
mengulanginya, aku tidak bisa mempertahankan kepercayaannya. Ujar Haruka
dalam hatinya.
BERSAMBUNG....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar