Tengah malam, sekitar pukul dua belas lewat. Saat itu Ayu sulit sekali
tertidur, perut nya memanggil manggil minta diberi makan. Ayu melihat
sekeliling, semuanya sudah tertidur lelap, begitupun dengan Sendy.
Niatnya ia ingin membangunkan Sendy yang tengah tertidur disebelahnya,
namun Ayu tidak tega.
Wajahnya menunjukkan kebinggungannya. Sesekali ia memegang perutnya
sanking tidak bisa menahan rasa laparnya. Akhirnya Ayu pun berjalan
mengambil sweater nya yang berada didalam tas untuk menyelimuti tubuhnya
dari udara malam yang dingin. Ayu men Scan jari kelingkingnya untuk
membuka pintu asrama, ia berjalan menuju Cafe gedung.
Rasa kecewa muncul dari wajah Ayu, bahwa Cafe yang ia tuju telah tutup,
begitupun dengan restaurant. Ayu baru sadar bahwa ia sedang tidak berada
di Hotel maupun Apartemen yang selalu buka 24jam. Ayu berjalan
menundukkan kepalanya. Kemudian terbayang bayang ucapan kakak nya
(Dhike) yang melintas dipikirannya saat Ayu kecil.
"Kakak, aku boleh gak makan Mie instan? Aku lapar, kak."
Dhike membentaknya. "Gak boleh! Kamu kan tahu sendiri kalo kamu makan
Mie Instan kamu akan merasa pusing. Kalo kamu lapar kakak bisa buatkan
telur dadar."
"Aku gak mau mengganggu kakak yang lagi belajar." Sahutnya.
"Lebih gak mau lagi jika aku harus merawatmu kalo kamu pusing. Kakak
bisa tunda belajar, kamu tunggu ya, kakak buat makanan dulu."
Ayu tersenyum kegirangan. "Kak, lain kali ajarin aku masak. Nanti aku
buatin makanan yang banyak buat kakak." Gurau nya. Dhike hanya tersenyum
membalas janji Ayu.
Ayu memang mempunyai reaksi alergi terhadap komponen bumbu pada Mie
Instan. Maka dari itu Ayu tidak berani lagi memakannya. Ayu berjalan
mengelilingi gedung, langkahnya terhenti disebuah taman, ia bertumpu
dibawah rumput tebal dengan kedua kaki dilipatkannya. Ia menunduk lesu
beberapa menit.
Kakak, aku rindu kakak. Setiap hari kita selalu menghabiskan waktu
bersama. Beberapa hari ini kita jarang sekali bertemu. Kenapa yang
selalu ada dipikiranku hanyalah Kakak, apa kakak juga merasakan hal yang
sama? Gimana kabar kakak? Apa kakak melewati Audisi itu dengan baik?
Besok adalah giliran ku untuk tampil. Tolonglah berikan aku dukungan,
kak.
Tidak lama Ayu bergumam, terdengar suara hentakan kaki yang mengarah ke
arah dirinya. Perlahan Ayu menegakkan kepalanya, ia menaikkan alisnya
terkejut melihat Dhike yang tiba tiba ada dihadapannya. Dhike bertumpu
disebelah Ayu sambil menatapnya heran. Sebelumnya Dhike memang sempat
melihat Ayu melewati kamar asramanya dari balik kaca, Dhike penasaran
dan langsung mengikutinya.
"Apa yang kamu lakukan malam malam begini disini?"
"Aku hanya gak bisa tidur, kak. Jadi aku jalan jalan sebentar melihat
lihat suasana malam disini." Sahutnya dusta. Ayu tahu, jika ia
mengatakan yang sebenarnya, mungkin ia hanya akan merepotkan Dhike.
"Ayo kita makan sama sama." Ajaknya tiba tiba. Dhike sebenarnya sudah
bisa menebak bahwa Ayu bukan ingin jalan jalan, melainkan ia kelaparan.
Kejadian ini sama percis dengan apa yang terjadi saat mereka berdua
masih kecil. Dhike masih mengingatnya.
Ayu terperangah heran. "Ta..Tapi ..."
"Aku juga lapar, jadi gak usah sungkan mengajakku untuk makan
bersama." Sahutnya dengan senyum tipis. Dhike mengetahui bahwa Ayu akan
merasa tidak enak hati, maka dari itu Dhike berusaha mengatasinya dengan
kalimat yang mengajak.
Saat itu juga Dhike menarik lengan Ayu dan membuat Ayu bangkit dari
tumpuannya. Mereka berdua berjalan dengan tangan yang saling
bergandengan menuju pintu gerbang gedung. Wajah Ayu seketika itu
memerah, ia tersenyum senang bahwa orang yang mengajaknya makan bersama
adalah kakaknya sendiri.
Setelah sampai didepan pintu gerbang, dua orang Security menghalangi jalan mereka berdua.
"Kalian mau kemana malam malam begini?" Tanyanya tegas.
"Kami ingin mencari makan malam. Didalam sana sudah tidak ada Restoran yang buka." Sahut Dhike.
"Kalo begitu ikutlah denganku, gak baik wanita keluyuran tengah malam begini."
Security tersebut memandu Dhike dan juga Ayu menemukan rumah makan
terdekat diluar kawasan Gedung. Ditengah perjalanan, Security tersebut
mendapat panggilan telepon dari rekannya yang membuat langkah mereka
terhenti sejenak. Sambil menunggu Security itu menyelesaikan
percakapannya ditelepon, Ayu bermain main dengan Kucing yang melintas
dipinggir jalan raya. Ayu memang girang sekali jika melihat Kucing lucu
yang ada dihadapannya, ia langsung mendekati kucing tersebut dan
mengelusnya.
"Kucing Lucu, Siapa nama kamu? Kenapa malam malam begini kamu sendirian?"
Dhike sedikit tertawa memandang tingkah Ayu yang memainkan Kucing itu,
sudah tidak asing lagi. Itu memang sudah menjadi kebiasaan Ayu sejak
kecil.
Flashback
Ketika beberapa tahun sebelumnya Ayu pernah menceritakan kesukaannya
dengan Kucing. Saat dirinya kesepian, ia selalu berjalan menuju loteng
paling atas sebuah apartemen. Diam diam Ayu membawa seekor kucing kecil
jenis anggora yang ia beli sendiri dari hasil uang jajan yang ia
kumpulkan selama setahun.
"Kak, apa kakak tahu? Disaat kakak masih berada disekolah dan membuat
diriku sendirian, kucing inilah yang selalu menemaniku dan bisa membuat
ku tertawa. Aku tidak punya siapa siapa kecuali kakak dan juga kucing
itu yang bisa menghiburku. Walaupun aku tinggal dengan Ibuku, tapi Ibu
tidak pernah meluangkan waktunya untuk menemaniku. Aku bahkan jarang
sekali berkomunikasi dengannya. Maka dari itu aku membeli kucing ini
untuk ku pelihara secara diam diam. Ya walaupun aku tahu jika sampai aku
ketahuan memelihara kucing oleh Ibuku, pasti ia tidak akan
mengijinkanku. Jadi, kakak jangan coba coba untuk melarangku, ya? Kalo
kakak sampai melarangnya, kakak harus tanggung jawab untuk selalu hadir
menemaniku saat aku merasa kesepian."
Kemudian Dhike menjawabnya dengan sedikit Gurauan. "Oh, Jadi kamu
mengamcamku, ya? Awas ya! Sini kucingnya. Jadi kamu lebih memilih kucing
daripada kakak, ya? hahaha."
"Kucing ini lebih Imut, tau!. hahaha." Balas Ayu bergurau.
Lantas Dhike berpura pura kesal dengan mengejar Ayu yang tengah menggendong kucing tersebut dibadannya.
"Apa katamu? Awas ya kalo sampai aku mendapatkan kucing itu, Aku akan mengurungnya didalam lemari es. hahaha."
Sejenak Dhike melamun mengingat itu semua, ia memandang Ayu dengan
senyum saat Ayu sedang asik memainkan Kucing dihadapannya. Memandangnya
hati ini sungguh lega solah olah diriku sudah menjalankan kewajibanku
untuk membuatnya selalu tersenyum.
Sejak dirimu hadir dalam hidupku, mengapa aku selalu dibebankan oleh mu.
Aku merasa bahwa aku harus bertanggung jawab akan hidupmu.
Ayahmu! Mengapa ia tega menghalangi kegembiraan mu.
Mungkin Jika Ayahmu berada disini, kamu tidak akan pernah menuduh bahwa dunia ini Kejam.
Tiba tiba saja dari arah kanan, sebuah kendaraan besar beroda enam
muncul dari tikungan yang tajam melaju dengan cepatnya. Saat itu Dhike
masih bersikap biasa saja, toh paling pengemudi itu membelokkan ban nya
sedikit kekanan untuk menghindari Ayu yang sedang asik bermain dengan
Kucing dipinggir jalan.
Namun truk tersebut tetap berjalan tanpa membelokkan ban nya, kedua mata
Dhike terbuka lebar cemas. Truk itu masih berjalan seolah olah tidak
mengetahui keberadaan Ayu. Dhike baru sadar kalau posisi Ayu sedang
dalam tidak baik, ia Jongkok dan menunduk kebawah, Apa mungkin pengemudi
itu tidak melihatnya? terkanya.
Sudah terlambat! Kucing yang dipegang Ayu sudah lari duluan dengan
cepatnya. Sinar lampu truk tersebut mulai memancar dan menerangi tubuh
Ayu.
"Berhenti! Ayu!" Pekiknya dengan rasa cemas yang luar biasa.
Apakah kehidupanku akan berakhir disini? Ibu dan juga Ayah, apakah
kalian merasakan kesedihan yang aku alami ini? Semoga kalian tidak
mengetahuinya.
Dhike berlari untuk menyelamatkan Ayu, Namun sudah terlambat.
Tubuh ku terpental, tetapi aku masih bisa merasakan detak jantungku. Aku
lemah tak berdaya, pandanganku sudah mulai kabur. Kendaraan besar yang
melaju cepat tidak mungkin menyebabkan kerusakan yang kecil pada
tubuhku. Sebisa mungkin aku membuka mataku, yang ku lihat hanyalah wajah
kakak yang penuh dengan air mata yang menetes diwajahku. Dikeadaan ku
yang terbilang sekarat ini, aku mencoba tersenyum pada kakak. Aku tidak
mau jika terus membuat kakak khawatir. Kalaupun kehidupanku akan
berakhir disini, lebih baik aku meninggalkan senyum padanya.
Melihat kejadian itu, Security dengan cepat membawa Ayu yang sudah tak
berdaya menuju rumah sakit terdekat. Sedangkan Dhike, ia masih terdiam
tidak percaya dengan apa yang ia lihat barusan. Wajah Dhike pucat, ia
duduk bertumpu ditempat kejadian maut tersebut. Ia melihat begitu banyak
darah yang berceceran dijalan raya, kemudian ia menyentuh darah dengan
tangis nya seraya berkata. "Enggak Mungkin!" Protesnya.
"Enggak Mungkin!"
"Enggak Mungkin!" Ucapnya lagi dan lagi.
"Enggak Mungkin!" Pekiknya.
Dhike memekik dengan tangis yang keras. Setelah tiga menit ia mencerna
kejadian barusan, Dhike berlari menyusul Ayu yang tengah dibawa ke rumah
sakit.
Tepat didepan kamar UGD tempat Ayu diperiksa, Dhike duduk bersimpuh
dengan kelopak mata yang bengkak. Pandangannya terus kedepan, pikirannya
sungguh kosong, wajahnya penuh dengan bercak air mata. Keadaan Jiwa
Dhike sungguh tidak baik, ia terlihat begitu kaku, kejiwaannya sudah
terganggu dengan kejadian maut yang dialami Ayu.
Tidak lama kemudian, Melody, Ve serta Stella muncul dan segera
menghampiri Dhike. Suasana diasrama sedang tidak baik, kacau karena
sebagian peserta sudah mendengar kabar berita tentang kecelakaan maut
yang dialami peserta bernama Ayu.
Melody mendekati Dhike yang kaku diam tak berdaya, lekas lekas disangganya punggungnya.
"Sebenarnya apa yang sudah terjadi pada kalian?" Tanya Ve begitu penasaran.
Mendengar pertanyaan Ve membuat Melody dengan sigap memberi isyarat
bahwa pertanyaan tersebut tidak cocok untuk diperbincangkan saat ini.
Melody mengetahui betul bahwa Dhike sedang ambruk ambruk nya memikirnya
Ayu, apalagi itu menyangkut nyawa seseorang. Pertanyaan Ve akan membuat
perasaan Dhike semakin memburuk saja.
Kemudian dari arah kanan Sendy muncul, langkahnya terhenti setelah
melihat Dhike serta sekumpulan temannya dihadapannya. Mungkin salah satu
dari mereka akan menyalahkannya, siapa yang tahu, pikir Sendy. Dhike
melihat keberadaan Sendy, dengan mata memelotot dan hati yang sudah
membara karena kesal, Ia berlari mendekati Sendy serta membanting tubuh
Sendy ke tembok dengan keras. Sendy masih terdiam atas perlakuan Dhike
yang kurang menyenangkan itu, ia melirik kedua tangan Dhike yang penuh
bercak darah milik Ayu, matanya berkaca kaca.
"Seperti itukah perlakuan mu padanya? Dia hanya anak kecil yang penuh
dengan penderitaan dalam hidupnya, Malam itu dia sangat kelaparan dan
berjalan seorang diri, apakah sulit untukmu menemaninya?"
Sendy mencerna perkataan Dhike barusan, Sendy jadi mengingat bahwa
sebelumnya memang Sendy sudah merasa ada yang tidak beres dengan tingkah
Ayu yang sesekali memegang perutnya, namun saat Sendy menanyakan
keadaan Ayu, Ayu hanya menjawab bahwa dirinya tidak apa apa.
"Sebelumnya memang aku sudah menanyakan keadaannya, Namun ia menjawab bahwa dirinya baik baik saja." Belanya.
Sanking kesalnya Dhike menarik kerah baju Sendy dengan kuat, suasana
menjadi memanas. Stella berlari berusaha memisahkan keduanya. Sendy
masih terdiam dan tidak melawan, ia tahu betul perasaan Dhike memang
tidak begitu baik, ia memakluminya.
Stella menuntun Dhike kembali pada tumpuannya, begitupun dengan yang
lainnya. Semuanya menunggu kabar dengan cemasnya. Dhike melamun dan
kembali mengingat masa lalunya.
Flashback
Kediaman Dhike, tengah malam. Pertengkaran hebat terjadi antara Ayah dan
Ibu ku. Dari balik kamar aku tidak bisa tertidur karena pertengkaran
tersebut. Saat itu aku masih terlalu kecil dan tidak terlalu bisa
mencerna perkataan kedua orang tuaku. Namun ada kalimat yang masih
membuatku binggung hingga sekarang. Saat itu Ayahku selalu mempeributkan
anak yang tinggal disebelah apartemen ku.
Ayahku selalu membentak Ibuku untuk segera mengakui siapa Ibu dari anak
tersebut. Aku tidak tega melihat Ibuku menangis, dan aku tidak tahu apa
yang sedang mereka ributkan. Keesokan harinya, aku begitu penasaran dan
aku mencoba memberanikan diri untuk mengunjungi anak yang merupakan
tetangga ku sendiri.
Saat aku berhadapan dengan anak itu, anak itu terus melemparkan senyum
padaku. Dia begitu polos dan tidak segan segan ia manarik ku kedalam
apartemennya. Ia menyuguhkanku sebotol susu dan beberapa snack seraya
berkata. "Kamu mau menjadi teman ku?" Ucapnya polos.
Lantas aku membalasnya. "Mengapa?"
Ia menjawab bahwa ia tidak pernah diperbolehkan main keluar kamar
apartemenya, ia merasa bosan dan kesepian. Ia sama sekali tidak
mempunyai teman yang bisa diajak berbicara ataupun bermain boneka
dengannya. Aku begitu tersentuh dan tidak tega melihat keadaannya,
bagaimana mungkin anak seumuran dia tidak diperbolehkan bermain oleh
orang tuanya, padahal masa kecil adalah masa dimana Anak anak
menghabiskan kesenangannya dengan bermain.
Setelah aku puas bermain dengannya, aku berpamitan dengannya. Aku diberi
sebuah boneka kecil seukuran telapak tangan, dan ia berkata semoga aku
bisa datang mengunjunginya lagi. Setelah aku bermain dengannya, aku baru
sadar bahwa ia mempunyai hati yang lembut dan begitu polosnya.
Saat aku kembali ke apartemen ku, aku kembali mengingat perkataan Ayah
ku saat bertengkar dengan Ibuku, dan aku bertanya tanya Apakah yang
dimaksud Ayahku adalah anak itu?
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar