Kini, Ayu tinggal disebuah Desa kecil dipegunungan bernama Salatiga.
Walau Ayu tinggal bersama dengan Ibunya, itu tetap saja tidak berarti
apa apa, tidak ada perubahan. Ayu tetap merasa kesepian, Ingin berbaur
dengan orang Desa, tetapi itu sulit. Sebab, lagi lagi Ibunya melarang
Ayu untuk tidak keluar rumah.
Ayu melangkah menuju pintu keluar rumahnya secara perlahan, Ia meraba
dinding sebagai penuntunnya. Sudah hampir 3 bulan Ayu tinggal disana, Ia
hapal betul segala lekukan dinding atau mungkin lantai tempat ia
berjalan. Memang agak sulit, selama kurang lebih 1 bulan Ayu harus
berjuang menghapal itu semua, hingga pergelangan kakinya memar karena
tersandung lantai yang menjulang tinggi.
Setibanya Ayu diteras rumah, seorang gadis berumur dua belas tahun
menghampiri Ayu dengan senyuman, Leene Namanya. Leene menuntun Ayu
menuju kursi taman depan rumahnya, hal itu memang sudah biasa Leene
lakukan. Ayu dan Leene memang sering bercengkrama jika ada waktu kosong.
Ayu sungguh merasa nyaman mengobrol dengannya, walau umurnya masih
cukup muda, Leene bisa menjaga sikap kekanakkannya. Berbagai keluhan dan
curhatan Ayu curahkan pada gadis muda tersebut.
"Aku senang Kak Ayu memanggilku." Kata Leene.
Ayu tersenyum. "Aku tidak punya teman selain kamu. Tidak banyak hal yang
bisa aku lakukan disini. Aku harap kamu tidak pernah bosan untuk
bertemu denganku."
"Aku tidak bosan sedikitpun." Jawabnya singkat.
"Bagaimana pelajaranmu disekolah?" Tanya Ayu.
"Menggagumkan! Apa yang kakak ajarkan kemaren siang benar semua.
Bahasa Inggris maupun Matematika, aku mendapat nilai tinggi."
"Syukurlah kalau begitu."
"Apa Kak Ayu bisa melihat Senyumanku?"
Ayu terdiam sejenak. "Aku tidak bisa melihatnya, tapi aku bisa merasakannya."
Dibalik kesenangan Leene, Ia pun punya rasa kekecewaan. "Sayang sekali
kak Ayu tidak bisa melihatku, aku ingin sekali kakak bisa melihatku.
Sebab jika kakak berada jauh dari sini, kakak bisa mengingat wajahku."
"Setidaknya kakak bisa menghapal suaramu. Jangan kecewa begitu, kakak
tidak pernah melupakan siapapun teman yang sudah bersikap baik pada
kakak."
Bagi Ayu sebenarnya memang tidak banyak yang perlu dicemaskan. Ia sudah
bisa menerima semua cobaan dengan ikhlas. Walau kebutaannya sudah mulai
menerpanya, Ayu sama sekali tidak pernah mengeluh dan mencoba merasa
tenang.
Ayu mengambil ponsel dari saku jaketnya. "Ambillah ini sebagai hadiahku karena kamu sudah mendapat nilai tinggi."
Leene terperanjat, bagaimanapun ponsel yang akan diberikan padanya cukup
canggih. Hanya mendapat nilai tinggi saja Ayu menghadiahkan dirinya
barang mahal. Leene merasa tidak enak, ia menggeleng kepalanya sambil
menolak.
"Tak apa, ambil saja. Bukankah kamu ingin sekali memotret wajahmu?
Aku yakin, jika fotomu di unggah ke internet, semua pria akan
menggodamu." Kata Ayu bergurau.
"Sebelumnya aku memang ingin memiliki barang itu, tapi melihat
keadaan kakak yang sekarang aku sungguh tidak enak." Keluh Leene.
Ayu sedikit binggung. "Maksudmu? Memang keadaan seperti apa?"
"Disaat aku asik memotret, kakak malah tidak bisa menikmati itu
semua. Maaf aku menyinggung penyakit kakak. Tapi, aku tidak bisa senang
melihat teman ku menderita."
Ayu hanya membalas senyum. "Aku sudah punya banyak foto di ponsel ku. jadi kamu tidak usah merasa sungkan padaku."
Leene seketika itu tersenyum senang. Ia segera melihat ponsel pemberian
Ayu. "Bolehkah aku foto bersama kakak? Aku ingin memamerkan pada semua
orang bahwa aku bangga memiliki teman seperti kakak. Kapan kapan aku
juga akan mengajak temen teman sekelasku kemari. Kita bisa bermain dan
belajar bersama."
Ayu menggangguk. Leene memegang lengan Ayu sambil berpose untuk mengenang moment pada saat itu. Mereka berdua berfoto bersama.
Keadaan seperti itu membuat hati Ayu kembali meluap. Ia jadi mengingat
temannya yang bernama Dhike. Ayu selalu bertanya tanya dalam hati
bagaimana kabarnya. Ayu mencoba menahan rasa rindu itu sekuat kuatnya,
hingga air matanya menetes. 3 Bulan adalah waktu yang cukup lama
baginya, Apakah Dhike sama rindunya denganku?
Leene menyadari kesedihan Ayu. Ia menoleh dan menatap Ayu dari dekat.
Matanya yang jernih berkaca kaca membuat siapa saja Iba bila melihatnya.
Sayang sekali, wajahnya yang manis dan menawan seperti itu harus
dinodai dengan penyakitnya yang sekarang.
***
Bintang bintang sudah mulai bermunculan. Sonya berniat mencari makan
malam dengan Melody. Sebelumnya, Sonya memang sudah membuat janji dengan
Melody untuk makan malam bersama sambil membicarakan sesuatu. Hatinya
memang tidak terlihat baik, sungguh mendung. Lima menit kemudian Sonya
pun sudah berjalan bersama dengan Melody menuju rumah makan. Suasananya
sepi, membuat perbincangan akan semakin nyaman dan nyambung.
"Aku rasa aku tidak seberuntung kalian. Apa yang aku rencanakan
selalu tidak berjalan dengan baik." Kata Sonya yang mulai membuka
pembicaraan lebih dulu.
Dari omongan Sonya diawal, sepertinya Sonya memang ingin menceritakan
keluhan hidupnya pada Melody. Sudah jelas, omongan yang akan dibicarakan
tidak akan mengundang tawa.
Melody tersenyum, berusaha membuat dirinya peduli dengan meladeni setiap
omongannya. "Memangnya ada apa? Jangan terlalu bersedih, masih banyak
orang yang hidup dibawahmu dan terus berusaha mengejar kesuksesannya.
Dan apa yang aku lihat pada dirimu, aku rasa kamu sudah diatas normal.
Kamu mempunyai bakat dibidang tari. Lalu apa lagi yang ingin kamu
kejar?"
"Walau aku sudah berusaha keras, aku selalu saja tidak mendapat
kepuasan. Wanita itu ... Selalu saja menindas kelemahanku. Semakin aku
menatap matanya, semakin kuat untuk ku melebihi kemampuannya. Namun,
sulit sekali untuk bisa menandinginya," Ucapnya sambil menghembuskan
nafas kuat.
"Setiap orang terlahir dengan kelebihan masing masing yang berbeda.
jangan berkecil hati begitu. Apa menurutmu kondisi semua orang baik baik
saja? Aku rasa, Rica pun tidak bisa menandingi kemampuanmu dalam hal
tari. Iya, Kan?"
Sonya malah salah mencerna perkataan Melody barusan. "Jadi, apa
menurutmu aku tidak akan bisa menandingi kemampuannya? Jadi, untuk apa
ada Les Privat dan lain sebagainya?"
Melody mendecak. "Lihatlah dirimu. Jangan asal menarik kesimpulan
seenaknya. Aku berkata seperti itu hanya untuk membuat dirimu kuat. Aku
tidak bilang bahwa kamu tidak bisa menandinginya, hanya saja mungkin itu
butuh waktu."
Sonya mendadak terbahak. "Ya, mungkin aku butuh waktu sampai harga
diriku diinjak olehnya." Katanya dengan wajah yang kurang setuju dengan
omongan Melody.
"Bukan hanya kamu yang membenci keberadaanya, aku pun merasakan hal yang sama. Tetapi ..."
"Tapi apa?" Potong Sonya. "Apa kamu akan selalu menerima perlakuan
yang tidak mengenakkan darinya? Dia adalah tipe orang yang suka
merendahkan orang lain dan memamerkan bakatnya pada semua orang, dan aku
sungguh membencinya."
Dengan berat Melody membalas. "Tidak ada yang bisa aku lakukan. Aku
sangat sadar bahwa kemampuanku memang tidak bisa menandinginya. Aku
tidak bisa membalasnya dengan bersikap kasar, karena itu terlihat tidak
adil. Jika ingin membalasnya, lampauilah kemampuannya."
Tidak ada yang membuat Sonya merasa lega, Omongan Melody justru semakin
membuatnya kecewa. Sonya merasa sudah berada dijalan yang buntu. Ingin
menandingi kemampuan akting Rica, tetapi selalu saja angkat tangan.
Niatnya bertemu dan mengobrol dengan Melody untuk membicarakan jalan
keluar yang tepat untuk mengalahkan Rica, namun Sonya tidak mendapat apa
apa.
Tidak lama ponsel Melody berdering, Melody segera mengambil ponselnya
dari saku jaketnya. Dilihatnya si penelepon dari layar kaca ponselnya.
Melihat nama Ikey dari layarnya, seketika perasaan Iba menerpa Melody.
"Siapa?" Tanya Sonya penasaran.
"Ikey ..." Jawabnya dengan nada yang rendah.
Melody segera menganggkatnya. "Halo..."
Dan kemudian Melody kembali menjawab. "Baiklah, aku akan keapartemenmu
besok pagi." Percakapan Melody dengan Ikey ditelepon berakhir singkat.
Sonya kembali penasaran. "Apa yang Ikey katakan padamu?"
"Dia ingin memintaku datang besok pagi."
Sonya menghela nafas. "Aku sungguh kasihan padanya. Semenjak sahabat
dekatnya pergi, Ikey semakin pendiam. Dia bahkan jarang sekali ingin
bertemu dengan kita. Apa dia akan baik baik saja? Bagaimana kalau besok
pagi aku ikut denganmu?"
Melody menggeleng. "Aku rasa bukan saat yang tepat jika kamu ikut
denganku besok. Sepertinya Ikey hanya ingin aku pergi sendiri. Aku juga
akan mencoba menenangkan perasaanya, jadi kamu jangan khawatir."
"Kira kira, apa kamu tahu keberadaan Ayu?"
Melody menggeleng dengan perasaan kecewa. "Itulah masalahnya. Jika aku
tau, aku sudah bertemu dengan Ayu saat itu juga. Entahlah, Ayu ingin
sekali keberadaanya tidak diketahui siapapun. Aku pun selalu bertanya
tanya bagaimana kabarnya."
Lantas Sonya mendapatkan Ide yang tiba tiba melintas dipikirannya.
"Bagaimana kalau kita meminjam bodyguard nya Ve? Mungkin kita bisa
meminta pertolongan padanya. Itulah gunanya teman, kita harus
memanfaatkannya."
Melody ingin sekali menyetujui ide barusan, tetapi rasanya tidak enak
jika meminta bantuan pada Ve. Ve bukan siapa siapanya Ayu, bahkan mereka
tidak terlalu dekat. Bagi Melody, jika ingin meminta bantuan, pihak
lawan juga harus mendapat keuntungan. "Ide mu cukup bagus, tetapi aku
sungguh tidak enak."
"Kalau begitu lupakan." Kata Sonya tak acuh.
Pembicaraan saat itu malah semakin menyebar, tidak terfokus pada suatu
tema saja, malainkan apa saja yang membuat penasaran, pasti akan
ditanya. Melody mencoba mengganti topik saat itu.
"Oya, bagaimana dengan Sekolah aktingmu? Apa berjalan dengan baik?"
Sonya menggeleng kesal. "Tidak! Aku merasa tidak ada perubahan apapun
dalam diriku. Apa yang dipelajari disana tidak beda jauh dengan kelas di
Pelangi Entertainment. Aku merasa aku hanya menghambur hamburkan uang
demi meningkatkan kualitas aktingku, Namun hasilnya sama saja."
"Jangan menyerah begitu. Kamu masih cukup muda untuk mempelajari itu
semua. Pelan pelan saja, aku yakin kamu pasti bisa menandinginya di
kemudian hari." Kata Melody yang membuat Sonya untuk tidak putus asa dan
menenangkannya.
Keesokan paginya, Melody menemui Dhike diapartemennya. Melody sudah
berada tepat didepan pintu apartemen, Ia segera memencet Bell. Hanya
beberapa detik, Dhike langsung membukakan pintu dan membawa Melody masuk
kedalam kamarnya. Saat perjalanan menuju kamar, Melody melihat begitu
banyak kue dan makanan makanan ringan, seperti akan merayakan sebuah
pesta. Hal itu membuat Melody bertanya tanya, namun pertanyaannya akan
disampan terlebih dahulu.
Sesampainya dikamar, Dhike menoleh pada Melody. Dhike pun merasa aneh
bahwa Melody tidak menanyakan apa yang sudah terjadi dan bersikap biasa
saja. "Apa kamu tidak ingin tahu?"
Melody manggut dua kali, keningnya terangkat. "Tentu, memangnya akan ada sebuah acara disini?" Terkanya.
Dhike menghela nafas sambil menggangguk. "Benar, hari ini adalah hari
ulang tahun Ayu. Aku dan keluarga biasa merayakannya bersama. Sebentar
lagi orang tuaku yang berada di Singapore akan datang kemari ... Dan aku
sungguh binggung."
"Binggung mengenai apa?"
Dhike terdiam sejenak, dan dengan berat ia mulai bicara. "Entahlah Ayu
masih memikirkanku atau tidak. Jika ia masih peduli terhadapku, Ia pasti
datang untuk merayakannya disini. Tapi aku tidak yakin, dan juga ...
Apa yang harus aku katakan pada orang tuaku."
Melody mendelik heran. "Jadi, orang tuamu belum mengetahui kepergian Ayu?"
Dhike menggangguk. "Sampai saat ini pun Ayu masih belum menghubungiku.
Aku sungguh kecewa, ini adalah hari yang aku tunggu tunggu. Sejak kecil,
Ayu dan aku tidak pernah melewatkan perayaan ulang tahunnya masing
masing."
Bell apartemen kembali berbunyi. Dhike seketika itu terperanjat, ia
menduga duga itu adalah orang tuanya. "Apa yang harus aku katakan."
Katanya panik.
Melody memegang bahu Dhike untuk menenangkannya. "Jelaskan saja semuanya, aku yakin orang tuamu juga akan memakluminya."
Dhike menarik nafas sambil menunduk. Kemudian Melody menarik lengan Dhike menuju pintu apartemen untuk membukakan pintu.
Dugaan Dhike benar, orang yang mengetuk pintu barusan adalah kedua orang
tuanya. Melody melempar senyum seraya berkata. "Apa kabar tante."
lantas Ibu Dhike membalasnya. "Bukankah kamu Melody teman satu SMA
Dhike? Wah, sudah lama kita tidak bertemu. Kamu sudah semakin dewasa."
Melody kembali tersenyum. Ayahnya yang masih bercahaya penuh senyum,
seketika mendadak keheranan. Ia melihat anaknya yang bisa dibilang
mendung pada wajahnya. Ayahnya masih belum mau menanyai kehidupannya.
Beberapa menit kemudian, semuanya sudah berkumpul diruang tamu, termasuk
Melody. Masing masing sudah duduk diatas sofa dengan wajah yang bisa
dibilang serius. Dhike sudah menceritakan semua yang sudah terjadi pada
orang tuanya. Dihari istimewa tersebut, justru tidak ada wajah yang
ceria. Dhike memandangi kue buatannya sendiri yang tergeletak diatas
meja dengan perasaan kecewa.
Ayah Dhike mulai membuka mulutnya, berusaha membuat apa yang sudah
dilakukan Dhike tidak sia sia atau merasa kecewa. "Mungkin sudah
seharusnya kita melepasnya. Lagipula Ayu sudah bukan anak kecil yang
selalu kita khawatirkan. Kini ia sudah dewasa dan bisa membedakan mana
baik dan mana yang buruk. Jangan terlalu dimakan hati."
Lantas Ibunya protes, tidak terlalu setuju dengan omongan suaminya
barusan. "Ayu sudah seperti bagian dari keluarga kita sendiri, tentu
kita harus mengkhawatirkannya. Ini kan hari istimewa, apa salahnya jika
Ayu meluangkan sedikit waktunya untuk hari ini."
Mendengar protes yang diucapkan istrinya, Ayah Dhike agak sedikit
jengkel. "Kalau begitu apa yang bisa kita lakukan untuk saat ini? Apa
kamu ingin mencampuri urusan keluarganya? Bukankah kamu sudah berjanji
untuk melepas anak itu pada Lina." (Lina adalah nama Ibu Ayu saat ini)
Istrinya balik memelotot dengan darah yang tinggi dan gondok. "Apa? Aku
tidak pernah mau melepaskan Ayu pada Lina. Dia bahkan tidak bisa
menjaganya dengan baik. Aku sengaja bekerja di Singapore dengan mu hanya
untuk menjauh dari anak itu, namun aku selalu memikirkannya. Dan kali
ini, aku harus kehilangan kontak dengannya dihari yang istimewa ini. Aku
rasa sikap Lina sudah sungguh keterlaluan, ia sengaja berpindah agar
aku tidak bisa bertemu dengan Ayu."
Sikap Istrinya memang terlihat begitu berlebihan, membuat Ayahnya tidak
enak hati atas suasana saat itu. "Sudah, cukup, hentikan. Tidak baik
mengomel didepan anakmu sendiri. Bagaimanapun Dhike sudah menyiapkan
semua ini, anggap saja kemeriahan ini Dhike rayakan untuk pertemuan
kita. Sudah 3 tahun lamanya kita tidak bertemu."
Istrinya tidak menuruti perkataan suaminya barusan, malah semakin
menggerutu dan kesal. "Bagaimana aku bisa tenang. Sudah bertahun tahun
lamanya aku tidak melihatnya, aku sungguh rindu dengannya. Ayu masih
satu darah dan daging ku, begitupun dengan Dhike." Ucapnya dengan
terpaksa.
"Apa yang kamu bicarakan!" Bentak suaminya saat itu juga setelah
ucapan Istrinya. Ayahnya segera monoleh pada Dhike. "Jangan kamu
dengarkan ucapan Ibumu barusan." Katanya berusaha membuat omongan Ibunya
barusan adalah tidak benar.
Namun, Dhike sudah terlanjur mendengarnya. Ia terdiam membisu, tubuhnya
gemeteran. "Apa yang Ibu dan Ayah bicarakan? Apa itu benar?" Tanyannya
dengan mulut yang terbata bata.
"Benar! Ayu adalah saudara kandungmu. Ibu sudah tidak bisa menutupi
ini semua. Pada akhirnya kamu juga harus mengetahuinya." Kata Ibunya
menjelaskan yang kedua kalinya.
Melody yang berada disebelah Dhike ikut mendelik keheranan, namun Melody
tidak berani membuka mulut untuk ikut campur dalam suasana itu.
Dhike masih keheranan, seolah olah sungguh mustahil ucapan Ibunya itu
benar. Dhike sulit sekali untuk mempercayainya. "Kenapa kalian
merahasiakan semua itu padaku. Jika itu semua benar, mungkin aku akan
lebih memperhatikan kehidupan Ayu." Kata Dhike disela tangisnya. Dhike
sungguh terpukul dengan omongan Ibunya.
Dhike berteriak kesal menerima kekecewaan itu, Ia berlari keluar dari
apartemennya sambil menangis. Melihat itu, Melody segera mengejar Dhike,
takut takut Dhike malakukan hal yang tidak diinginkan karena kekecewaan
itu.
Dhike menuju lift untuk mancapai lantai dasar. Setelah sampai, Dhike masih terus berlari sambil menangis tersedu sedu.
Sebenarnya dimana kamu?
Aku ingin menatap wajahmu dari dekat.
Aku masih ingin bersama sama denganmu, bermain, belajar atau mungkin berjalan jalan.
Aku sungguh ingin bertemu denganmu hari ini.
Mulai hari ini, aku akan memperlakukanmu seperti kakak pada umumnya.
Aku tidak mau kamu selalu memendam masalah seorang diri, jangan takut untuk berbagi masalah itu padaku.
Aku ... Sungguh menyayangimu.
Air matanya mengalir deras, tetapi suara tangisnya dipendam. Dhike
sungguh tidak tahu harus senang atau kesal karena mendengar pernyataan
dari Ibunya barusan. Tetapi, Dhike ingin sekali bertemu terlebih dahulu
dengan Ayu. Mendengar Ayu adalah saudara kandungnya, membuat rasa cemas
semakin menjadi jadi dalam tubuh Dhike.
"Dhike !" Teriak keras Melody yang mengejarnya dari belakangnya. Namun Dhike tidak menghiraukannya dan terus berlari.
Dhike terus berlari tanpa menengok kanan kirinya, kebenaran itu membuat
kejiwaannya terpukul hingga tidak sempat mengamati sekeliling. Disaat
Dhike berlari menyebrang jalan, Dhike tidak sadar bahwa ada sebuah mobil
yang sedang melaju kencang, Apesnya, tabrakan pun tidak bisa
terhindarkan. Dhike terpental hingga tidak sadarkan diri dijalan.
"Dhike!" Teriak panik Melody sambil menghampirinya.
Melody menangis kencang melihat keadaan Dhike saat itu.
"Dhike!" Ulangnya berteriak dengan tangis yang kuat. Tubuh Melody mendadak lemah, tidak sanggup melihat keadaan Dhike.
Aku mohon jangan berakhir disini.
Aku masih ingin mengucapkan kata 'Adik' pada Ayu.
Jika memang ini adalah akhir hidupku, maka aku ingin melihat wajahnya untuk terakhir kalinya.
BERSAMBUNG.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar