Gedung Asrama,
petang. Sebelum memasuki kamar asrama miliknya, Shiva bersandar di
tembok, ia memejamkan matanya. Hatinya masih merasa gelisah. Ia menarik
nafas dalam dalam, menelankan ludah. Shiva kembali melihat daftar
peserta yang merupakan sekamar dengan nya. Yang menurutnya sial baginya,
ia harus sekamar dengan Cleo, Shania dan juga Sonya. Mungkin setelah
Shiva memasuki kamar tersebut, berbagai pertanyaan akan muncul
menerpanya.
Kelima jarinya
mulai menggenggam gagang pintu, dan perlahan pintu tersebut ia ditarik.
Kedua bola matanya menjelajah isi kamar, seperti dugaan nya, Cleo,
Shania serta Sonya berada didalam. Semua mata memandangi Shiva, mereka
penasaran mengapa Shiva baru nongol saat itu. Dengan wajah jengkel
Shania mendekati Shiva.
"Kamu kemana
aja? Aku sudah muak mendengar semua teman teman ku menghkawatirkan mu.
Apakah memberi pesan lewat ponsel itu sulit? Sama sekali gak ada
balasan."
"Aku minta maaf ..." Jawabnya santai.
Cleo bangkit
dari sandarannya, ia menghampiri Shiva. "Sebelumnya kita merupakan satu
tim, tim yang pernah berlatih bersama, tim yang mempunyai mimpi yang
sama dan tim yang sama sama saling membantu dan menolong. Namun jika
sikap mu seperti ini aku ragu mengucapkan kalimat yang terakhir. Apa
kami boleh tau apa yang membuat mu menghindar?"
Shiva tunduk
terdiam, ia sedang mendalami betul kalimat Cleo barusan. Namun dalam
hatinya ia tidak setuju semua yang diucapkan Cleo. Shiva mulai
menggerakkan bibirnya, ia akan memberitahu apa yang ada dipikirannya.
"Aku benci
dengan kebersamaan. Setiap kebersamaan akan berakhir menyakitkan. Semua
kenangan yang pernah kita lakukan bersama tidak akan pernah hilang dan
akan terus bersarang dipikiran, aku gak suka itu. Dikehidupan ini, pasti
ada awal dan akhir, seberapa banyak kenangan yang kalian miliki maka
akan semakin menyakitkan jika orang yang kalian sayangi telah
menghilang. Memang benar, kebersamaan membuat kita semakin kuat. Namun
itu hanya awalnya saja, semakin kuat rasa kebersamaan kalian maka
semakin kuat pula rasa sakit yang akan kalian rasakan bila orang yang
kalian sayangi telah menghilang."
Cleo
membalasnya. "Tetapi, didunia ini kamu gak bisa hidup seorang diri.
Semua orang akan butuh yang namanya tolong menolong. Jika kamu mengalami
masa sulit dan kamu gak tau harus berbuat apa, maka, temuilah teman mu.
Itulah arti kebersamaan bagiku."
"Teman?
Mungkin kalian akan lebih mudah mengucapkan itu, Karena kalian selalu
bersama, kalian sederajat, kalian sama sama mempunyai posisi yang sama.
Kalian hanya tau kehidupan yang seperti itu, kalian gak pernah mau
mengetahui kehidupan yang lain, yang seperti aku jalani."
"Sudah cukup, memangnya kehidupan seperti apa yang kamu alami?" Tanya Cleo dengan nada paksa.
Tetesan air mata mulai terlihat dari wajah Shiva. Ia sedih bila mengingat kehidupan pahitnya.
"Hidupku
penuh dengan Hinaan, prasangka buruk dan juga ejekan. Aku sudah tidak
terlihat seperti manusia lainnya yang selalu dihormati, melainkan hanya
sebuah patung figuran lawak yang selalu ditertawakan, direndahkan dan
yang paling parah, yaitu menjijikan. Semua orang memandang ku seperti
itu. Aku tidak pernah mau percaya pada siapapun kecuali pada diriku
sendiri."
Kalimat Shiva
memang sungguh emosional, semuanya mencerna kalimat yang diucapkan oleh
nya. Kesabaran Sonya pun telah habis, ia juga ingin ikut berpendapat dan
mengeluarkan apa yang ia pikirkan.
"Lalu
bagaimana dengan kami? Apa kami terlihat begitu menjijikan bagi kamu?
Aku sangat tidak suka dengan kalimat itu. Memang benar apa yang kamu
ucapkan barusan, Manusia memang tidak ada yang sempurna, kita tidak bisa
menebak isi hati manusia. Dari luar manusia bisa saja bersikap lembut
dan baik, tetapi kita tidak akan pernah tahu isi hatinya. Akupun tidak
akan pernah percaya pada yang lain sebelum aku percaya pada diriku
sendiri. Kenyataan nya yang kamu ucapkan itu memang benar. Aku melihat
dirimu dari luar, saat pertama kali kita bertemu kamu begitu lembut dan
baik, kenyataan nya kamu pun sama saja. Hal yang paling aku tidak suka
pada manusia yaitu, berprasangka buruk. Kamu sudah mengira bahwa kami
sama saja dengan lain, yang selalu merendahkan, bukan begitu? Tapi boleh
aku jujur? Aku tidak pernah sama sekali berpikiran begitu padamu. Itu
saja, percaya atau tidak itu tergantung pada dirimu."
Sonya merasa
kesal, ia mengakhiri percakapannya dan menuju tempat tidurnya, ia
berbaring. Begitupun dengan Shania, ia berjalan keluar kamar asrama
dengan wajah masam.
"Mau kemana kamu?" Tanyanya Cleo pada Shania.
"Aku ingin keliling melihat lihat suasana Gedung." Jawabnya dengan kesal.
Wajah Shiva
masih menunjukkan kekusamannya. Kemudian Cleo berusaha menenangkannya
dengan memegang pundaknya. Sebisa mungkin Cleo memaklumi keadaannya,
walau ia masih belum terlalu paham akan kehidupan yang dialami Shiva,
tetapi Cleo merasakan kesusahannya.
"Kita semua
gak pernah berpikiran seperti yang kamu pikirkan barusan. Aku
menghormatimu, yang lain juga begitu. Gak ada yang membencimu
sedikitpun. Semua takut kamu tidak hadir hari ini, semua takut kalo kamu
sedang sakit, semuanya sungguh mencemaskanmu saat kamu tidak ada tadi
pagi. Kalau misalkan kami memang benar benar merendahkan mu, lalu untuk
apa kami melakukan itu semua?" Ujar Cleo menjelaskan.
Shiva hanya
terdiam, tidak ingin berbicara panjang lebar lagi. Mungkin menurutnya
sudah cukup semua yang ia ceritakan pada teman temannya. Ia tidak ingin
menceritakan kehidupan sebelumnya lagi, itu akan membuatnya semakin
sedih.
"Aku capek, aku mau istirahat dulu." Keluhnya dengan berjalan menuju kasur dan berbaring disebelah Sonya.
Kemudian
terlintas dipikiran Sonya untuk berbagi. Ia mengambil boneka Panda yang
berada di pojok kasur, Lalu ia memberikannya pada Shiva yang sedang
berbaring disebelahnya.
"Peluklah boneka itu. Aku biasa melakukannya saat aku merasa kesusahan."
Shiva memang
ragu ragu untuk menerimannya. Namun ia tidak bisa menolaknya, Shiva
memang terlihat memiliki hati yang lemah sejak lahir, walaupun ia
mencoba untuk tidak lemah, namun percuma saja, Ia tidak tegaan melihat
Sonya yang mengkhawatirkan dan memikirkannya. Perlahan Shiva mengambil
boneka pemberian Sonya, kemudian ia peluk kuat kuat boneka tersebut.
Sonya tersenyum memandangnya.
Terasa nyaman
sekali. Sudah lama aku tidak merasakan kenyamanan ini. Walau hanya
sebuah boneka, ini sungguh membuatku merasa tentram. Ini sungguh hangat,
Aku harap yang aku peluk saat ini adalah orang tua ku.
Sendy masuk
kedalam kamar tempat Ayu dirawat, Ia sempat terperangah melihat Ayu yang
sudah gagah duduk dikasur sambil memainkan Ponselnya. Sendy segera
mendekati Ayu seraya Berkata. "Ayu ... Kamu sudah sadar?"
Ayu menggangguk
dengan senyumnya. Ia sangat senang melihat keberadaan Sendy,
bagaimanapun kejadian waktu itu Sendy lah yang telah melindunginya,
mungkin umur belia gampang sekali girang setelah mendapat pujian atau
belaan. Yang dilihat Sendy saat itu hanya senyuman yang keluar terus
menerus dari wajah Ayu. Senyumannya sungguh indah, membuat siapa saja
jika melihatnya hati akan ikut gembira dan senang.
Namun senyuman
Sendy tidak bertahan lama, ia mengkhawatirkan isi pesan Dhike yang
berada diponsel Ayu. Ia lupa menghapusnya. Jika sampai Ayu
mengetahuinya, mungkin Ayu akan merasa ganjil siapa yang telah
menggeledah ponselnya yang sudah ia lindungi dengan password. Sendy
mulai berbasa basi mendekati Ayu, Ia juga menaruh dagunya tepat dipundak
Ayu. Ayu sempat terkejut dengan perlakuan Sendy, ia baru saja berteman,
tapi kedekatan Sendy bisa dibilang berlebih. Tetapi disisi lain memang
Ayu merasa senang, ternyata Sendy mempunyai watak yang lembut dan juga
tidak malu malu untuk memulainya duluan. Ayu mulai menggeliat kegelian.
"Kenapa? Apa
kamu merasa geli? Aku ini wanita, beda kalau aku ini pria. Mungkin
wajah mu akan memerah." Ucap Sendy dengan Tawanya.
"Seperti
inilah aku. Jadi kamu jangan sampai kaget bila tiba tiba saja aku
memeluk mu. Oya, gimana, Apa kamu masih merasa pusing?"
Ayu
menggelengkan Kepalanya, lalu ia menoleh kearah wajah Sendy yang berada
dipundaknya. Jarak diantara pundak dengan leher cukup dekat, Jika Ayu
menoleh ke arah Sendy mungkin meraka akan saling bertatap muka cukup
dekat. Mereka saling menatap, Perasaan Ayu penuh dengan kegelisahan,
jantungnya berdetak kencang naik turun, kedua matanya terbuka lebar,
tubuh Ayu menjadi panas dingin, kedua tangannya gemetaran.
Melihat
kegelisahan Yang Ayu Rasakan membuat Sendy mengambil tindakan,
Dipegangnya telapak tangan Ayu dengan lembutnya agar perasaanya tenang.
"Kenapa telapak tanganmu berkeringat? Apa kamu demam?"
Ayu menggeleng kepala dengan cepat. "Nggak, Hanya saja ..."
"Maafkan aku ..." Potong Sendy tiba tiba.
"Tentang apa, kak?" Tanyanya heran.
"Aku masih belum bisa mengikutsertakan mu dalam Audisi, Namun aku akan masih berusaha."
Ayu menunduk
masam. Tidak bersemangat. "Aku gak apa apa, kok. Mungkin ini takdir ku.
Kakak sudah menyelamatkanku, Rasa kecewaku tiba tiba saja menghilang
setelah apa yang kakak lakukan padaku. Aku sudah tidak mempermasalahkan
itu. Walau aku tidak mengikuti Audisi itu, aku akan selalu menyemangati
kakak. Mungkin lain kali aku akan mengikutinya." Ujarnya sambil
tersenyum tipis.
"Nggak, kamu
harus ikut. Apapun caranya. Kamu harus selalu ada disisiku, menemaniku.
Aku juga sama sepertimu yang selalu kesepian. Aku tidak mempunyai siapa
siapa, banyak sekali yang sudah jahat padaku. Aku ingin membalasnya,
aku ingin tunjukan bahwa aku ini bukan seorang pengecut yang selalu
direndahkan. Akan aku tunjukan pada mereka, akan aku buat mereka semua
menunduk padaku. Akan aku buat mereka semua memohon padaku. Akan aku
buat mereka menarik semua ucapannya."
Mendengar
ucapan Sendy yang sungguh Emosional membuat Ayu panas, kesal serta
emosi. Ayu sudah terbawa suasana. Ia sudah masuk dalam perangkap Sendy.
Kerlingan Sendy menatap kuat mata Ayu dengan senyum tipisnya.
Bagaimanapun ucapan Sendy barusan memang hanya untuk membuat Perasaan
Ayu memanas, Ucapannya sengaja dibuat buat seolah olah ia mangalaminya,
kenyataan nya, Sendy hanya ingin membangkitkan perasaan Ayu yang sempat
ambruk dengan kalimat kalimat emosional yang sekiranya Ayu ucapkan saat
dirinya kesusahan.
"Teruslah
untuk tetap bersamaku. Kamu hanya tinggal ikuti semua ucapanku. Aku
janji akan selalu melindungimu saat kamu kesulitan. Gimana?"
Ayu terdiam ragu. Air mata kesedihannya menetes dan mengalir hingga leher.
"Ingatlah
semua perbuatan perbuatan setan yang telah teman teman mu lakukan
padamu. Apa kamu hanya ingin tinggal diam dan selalu direndahkan oleh
mereka? Apa kamu tidak ada pikiran untuk membalas nya? Buat mereka
menunduk padamu dan memohon. Jangan lemah."
Ayu begitu
emosional mendengar ucapan Sendy, kedua tangannya mengepal kuat.
Kemudian perlahan lahan Ayu mulai menggangguk menyetujuinya.
"Ayo ikutlah dengan ku. Pakailah jaket tebal, udara malam hari begitu dingin."
Ayu menuruti
apa yang diucapkan Sendy, ia menaruh ponsel nya dikasur dan kemudian
mengambil jaket dari dalam tasnya yang berada dilantai. Diam diam Sendy
mengambil ponsel milik Ayu, Sendy merasa lega, sepertinya Ayu
menggunakan ponsel barusan hanya untuk bermain game saja, Sendy masuk
kedalam inbox dan kemudian ia menghapus pesan dari Dhike. Setelah
selesai, sesegera Sendy menaruh kembali ponsel tersebut dikasur.
Sendy membantu Ayu mengemasi barang barangnya. Setelah selesai ia memegang pundak Ayu lalu tersenyum.
"Aku akan mengurusi biaya administrasinya."
Udara pada
malam hari begitu dingin, sekitar pukul sebelas malam. Disaat yang lain
tertidur, justru Melody dan Dhike masih bersama ketika itu, mereka
mengenakan jaket tebal dengan corak yang sama. Dibawah bulan besar yang
indah mereka bertumpu dibawah tanah yang dilapisi rumput tebal ditaman.
Suasa tenang serta pemandangan yang terbentang luas membuat hati terasa
tentram, sangat cocok untuk berangan angan.
Hampir tidak
ada suara apapun yang terdengar, yang ada hanyalah suara hembusan angin
yang menerpa kulit. Keduanya tersenyum geli dengan pandangan kedepan,
mereka sedang berangan angan. Kemudian Melody menoleh ke arah Dhike.
"Kamu lagi pikirin apa? Keliatanya penuh dengan kegembiraan."
Dhike tertawa geli. "Kamu dulu, apa yang kamu pikirkan?"
"Kalo aku
... Hmmm, Aku bersama dengan teman teman yang sangat aku sayangi, dan
saat itu kami sedang bersama sama berada diatas hamparan salju yang
tebal terbentang luas. Seumur hidupku, aku begitu penasaran dengan
butiran putih kristal tersebut, aku ingin merasakan genggamannya. Aku
berjalan menginjak tumpukan salju dengan lilitan kain tebal yang
menyelimuti tubuhku, syal yang memutar tepat dileherku dan juga sarung
tangan yang tebal, aku ingin merasakan itu semua. Bagaimana dengan mu?
ceritakan."
"Aku ingin
kembali seperti dulu lagi, dimana saat masa kecilku itu sungguh
menyenangkan. Bersama keluarga dan juga dirinya. Aku ingin melihat
senyumannya yang sungguh indah, entah kenapa setiap orang memandang
dirinya jika sedang tersenyum, hati terasa ikut terbawa oleh kegembiraan
nya. Dan ..."
Ucapan Dhike
terhenti, pandangannya terkunci pada salah seorang yang ada
dihadapannya. Ia memandang Ayu yang sedang bersama dengan Sendy berjalan
menuju ruang asrama dari kejauhan, Ayu tidak menyadari keberadaan
mereka. Melody pun melihat keberadaanya. Perban kecil yang ditempelkan
dibelakang kepala Ayu tidak terlihat sangking jauhnya, Jika Dhike sampai
mengetahuinya mungkin ia akan mencemaskannya.
Kemudian Dhike melanjutkan kalimat yang dipotongnya barusan sambil memandang Ayu.
"Dialah
orangnya, teman bermain yang kupunya saat kecil hanyalah dia. Walau umur
kami masih sangat muda, tetapi kami tau apa itu arti berbagi. Dulu dia
tidak seperti yang sekarang ini, jika ia terluka ia tidak pernah
menunjukkannya, sebisa mungkin ia pendam dan menahan rasa sakit
tersebut. Ia tidak ingin kalau aku mencemaskannya. Bahkan, ia mengobati
rasa luka tersebut dengan perban yang ia ambil sendiri. Disaat kedua
orang tua kami berangkat bekerja, kami sering sekali kelaparan. Walau
Ibuku sudah menyiapkan makanan dimeja, namun Ayu tidak pernah mau untuk
menyentuhnya. Ia berkata, Makanan itu dibuat hanya untukku, ia tidak
berani mengambil jatah ku. Walau Ibuku sudah berkata untuk berbagi, dia
tetap saja menolaknya. Dan kemudian aku bertanya apa alasan ia
menolaknya, lalu ia menjawab bahwa makanan yang dibuat oleh Ibuku ku itu
hanya untuk dirimu, aku tidak mengerti dengan jawaban konyol nya itu.
Dahulu kamar apartemen kami saling bersebelahan, disaat hari makan siang
tiba, Ayu lebih memilih kembali ke apartemennya dan memakan makanan
cepat saji yang dibelikan oleh Ibunya. Aku diam diam memasuki kamar
apartemennya, dan air mataku tidak bisa hentinya keluar. Aku melihat ia
menangis tersedu sedu sambil berkata bahwa ia juga ingin merasakan
masakan yang dibuat oleh Ibunya sendiri, seperti diriku. Aku begitu
ambruk memandanginya, ia masih sangat kecil tetapi ia sangat mengerti
apa itu artinya kasih sayang. Aku berusaha sebisa mungkin menahan untuk
tidak mendekapnya, aku tahu bahwa ia tidak ingin aku mencemaskannya. Aku
kembali keapartemen ku lalu aku membuatkan omelet untuk dirinya. Dengan
wajah polosnya ia tersenyum senang setelah aku membuatkannya, kami
makan bersama dan senyuman itu muncul kembali dari wajahnya. Aku jadi
mulai mengerti, bahwa ia sangat membutuhkan kasih sayang."
Mendengar semua
yang Dhike ucapkan tentang masa lalunya membuat hati Melody tersentuh.
Ia ingin menangis namun sebisa mungkin ia tahan. Betapa indahnya masa
lalu yang dilalui mereka, penuh suka maupun duka. Namun mereka berusaha
bersikap tegar, saling membantu dan juga memberi kasih sayang. Memang
pantas bahwa hubungan mereka itu lebih dari sahabat sekalipun, Mereka
Saudara yang tidak bisa dipisahkan.
Kemudian Dhike kembali mengingat harapan Melody barusan, ia menoleh dan menatap Melody kuat.
"Suatu saat nanti aku akan mengajakmu untuk melihat salju, bahkan merasakannya. Aku janji."
Melody
tersenyum senang mendengarnya. "Berkat omongan dan pengalaman mu bersama
Ayu, aku jadi tahu betapa pentingnya yang namanya kasih sayang. Terima
kasih, aku telah dipertemukan sahabat seperti kalian semua."
BERSAMBUNG....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar