"Ronald!" Panggil Melody yang tidak sengaja melihat keberadaan Ronald, saat itu Melody masih bersama dengan Rena.
Ronald menengok
kebelakang. Ia memandangi Melody dan menyapanya dengan senyum, Melody
senang melihat dirinya. Dengan berat Ronald menghampiri Melody, sebab,
Ronald hanya ingin berbicara empat mata dengannya.
"Apa kamu sibuk?" Tanya Ronald.
Melody menggeleng. Lantas Rena menyerobot dengan nada yang agak judes. "Dia sedang memanduku. Jadi, pacarannya lain kali saja."
Melody
dikejutkan oleh kata 'pacaran' yang Rena ucapkan barusan, Lantas Ia
berusaha meluruskan tuduhan tersebut. "Dia bukan pacarku. Hanya teman."
Katanya memperjelas.
Rena mengoceh. "Teman pria dan pacar apa bedanya."
Ronald masih
saja mengunci mulutnya, bagaimanapun ia tidak akan membuka mulutnya saat
Melody sedang bersama seseorang. Suasana kaku tersebut membuat Melody
sedikit heran, Melody menduga bahwa akan ada yang mau di omongin oleh
Ronald.
"Ada apa?"
Tanya Melody berusaha membuat Ronald berbicara. Lantas Ronald menoleh
Rena dengan wajah enggan, untungnya Melody menyadari bahwa Ronald saat
itu memang ingin berbicara empat mata dengannya.
"Apa kamu bisa tinggalkan kami sebentar?" Pinta Melody pada Rena.
memang sedikit
kesal bagi Rena, memang apa sih yang bisa dibicarakan 2 orang remaja
dengan jenis yang berbeda, pasti gak jauh dari percintaan atau
persahabatan, pikir Rena.
"Aku tidak
punya tempat untuk pergi, jadi aku akan tetap disini." Kata Rena sambil
mengeluarkan Earphone untuk mendengarkan lagu. "Tenang saja, aku tidak
akan mendengar percakapan kalian." Tambahnya, sebab dikuping Rena sudah
ia pasangkan earphone tersebut.
Walau sedikit
ragu dengan tindakan Rena, namun Ronald tidak punya cara lain selain
mengeluarkan permintaannya. Namun sebelumnya, Ronald menarik lengan
Melody menuju pojokan pagar jembatan. Saat itu mereka memang sedang
berada disekitar taman dengan daratan yang tinggi, sehingga Ronald
terpesona akan keindahan ribuan bahkan lebih rumah yang tertata dibawah
sana.
"kali ini
aku mulai percaya bahwa uang bisa mengubah hati seseorang menjadi
serakah. Seperti yang dilakukan teman dekatku saat ini. Apa yang
dijanjikan padaku waktu itu semuanya sirna dengan profesi yang ia miliki
saat ini." Kata Ronald tanpa menatap Melody.
Melody berlagak tidak tahu, namun sebetulnya Melody tau percis siapa teman yang sedang Ronald bicarakan.
"Siapa dia?"
"Rica ..."
Sahutnya agak lemas.Lantas Melody berusaha mengeluarkan pendapatnya.
"Terkadang aku merasa kasihan melihat dirinya. Sosoknya yang sekarang
membuat orang minder untuk mendekatinya. Kemampuannya dalam akting
membuatnya sungguh percaya diri untuk bisa menindas yang lemah. Itulah
yang aku lihat dalam dirinya." Kata Melody.Ronald menoleh pada Melody,
Ia merasa bahwa pendapatnya sama dengan dirinya. Itulah kelebihan Melody
di mata Ronald, Dewasa dan dapat memaklumi seseorang berdasarkan
masalah dan kelemahannya, maka dari itu Ronald selalu nyaman jika
mengobrol dengannya.
"Sudah
sangat lama aku dan Rica berteman baik. Aku dan dia sama sama hidup
dimasa yang sulit. Kini, dalam sekejap ia mampu mengubah kehidupan
pahitnya. Aku sebagai teman hanya bisa mengucapkan 'selamat' padanya.
Sedangkan aku hanya bisa menjadi pria yang pecundang." Kata Ronald
mengutarakan sedikit isi hatinya.
Melody menarik
nafas panjang - pendek, sedikit kesal bagi Melody mendengar kalimat
Ronald barusan. Ronald hanya bisa mengeluh tanpa ada sebuah tindakan.
"Benar. Lalu, apa kamu akan selamanya hidup seperti itu? Dunia ini
kejam, yang tidak kerja tidak akan mendapat makan. Rubahlan hidupmu."
Jawab Melody begitu emosional.
Ronald menjadi
enggan meminta permohonannya pada Melody, namun kalimat Melody
membuatnya menjadi kukuh untuk bisa mengubah hidupnya ke jalan yang
lebih baik. Lantas dengan terpaksa dan malu, ia membuka mulutnya. "Soal
penawaranmu waktu itu ... Aku akan menerimanya."
Melody mendelik
sejenak menatap Ronald, kemudian ia tersenyum lebar. "Sebagai teman,
aku pasti akan membantumu. Gengamlah dunia ini ditanganmu, mulailah
hidup baru yang penuh dengan kerja keras ... Dan nikmati hasilnya."
Keduanya
tersenyum saling memandang. Rena yang dirinya dibuat menunggu hanya bisa
cemberut jengkel memandang keduanya, Ia menghampiri Melody. "Kalian
sudah selesai?" Tanyannya dengan memasangkan wajah yang dongkol.
Melody menggangguk. "Kami sudah selesai."
"Tidak ada
adegan menangis. Tidak ada adegan mendekap. Jarang sekali aku melihat
pasangan seperti kalian." Kata Rena menyindir keberadaan Melody dan
Ronald.
Melody gemas. "Sudah aku katakan bahwa kami hanya berteman." Katanya memperjelas kedua kalinya.
"Ayo ke toko icecream. Aku ingin menenangkan diriku dengan memakan yang manis." Pinta Rena dengan membalikkan tubuhnya.
"Siapa dia?" Bisik Ronald pada Melody.
"Putri Direktur." Jawabnya.
"Wah, Putri
Direktur, ya? Kamu pasti berhubungan baik dengan Direktur. Kalau aku
culik putrinya, kira kira apa aku akan mendapat sebuah apartemen mewah
sebagai tebusannya?" Guraunya.
Melody mendengus dengan tawa kecilnya. "Jangan bercanda!"
Casting
berlangsung dilantai dua belas. Perasaan gugup menyelimuti semua para
peserta yang menunggu di ruang Lobby. Dihadiri oleh direktur Pelangi
Entertainment yang juga menilai akting dari para peserta ketika itu.
Sonya begitu gelisah, ia duduk diruang tunggu sambil melipat kedua
kakinya. Ini merupakan hari penentuan bagi Sonya agar dirinya mendapat
kesempatan menjadi aktris setelah sebelumnya gagal.
"Jika kamu
terus gelisah seperti itu, maka kamu tidak akan pernah berhasil dalam
casting itu." Kata Stella yang baru saja datang, Ia duduk disebelah
Sonya. Sonya menoleh pada Stella, ia menatap kagum sosok Stella. Sebab,
Stella pernah memainkan banyak peran didunia film.
"kalau begitu, apa kamu bisa membantuku?" Balas Sonya.
"Apa yang kamu keluhkan?" Balik Stella bertanya.
"Mengapa aku selalu tidak pernah bisa berekspresi ketika akting?"
"Jawabannya
cukup mudah, kamu belum bisa menguasai perasaan indra dan naluri.
Perasaan emosional, sedih, atau mungkin tertawa. Semua itu diciptakan
melalui ingatan masa lalu, dan kemudian disusun kembali dalam akting."
Jawab Stella.
Sonya masih binggung. "Aku tidak terlalu mengerti dengan ucapanmu."
"Begini saja, sebelumnya aku ingin bertanya padamu. Pada saat kamu menangis, biasanya masalah seperti apa yang menimpamu?"
"Pada saat
aku terjatuh hingga terluka, dimarahi, dan ... kekecewaan yang membuat
hatiku terluka. Mungkin itu masalah yang sering aku jumpai hingga diriku
menangis." kembali Sonya menjawab.
"Seorang
aktor/aktris diwajibkan untuk bisa memahami inten naskah yang dibuat
oleh si pengarang, entah itu suasana sedih atau mungkin gembira. Aku
akan menjelaskan suasana sedih saja, dimana para pemeran kebanyakan
kesulitan melakukannya. Jika kamu menerima naskah berisi tentang
kesedihan, maka kamu harus masuk kedunia ingatan dimana kamu pernah
menangis dikehidupan sebelumnya. Disini, kamu harus bisa memadukan
antara dialog dan juga ingatan masa lalu yang menyedihkan. Dan
selanjutnya adalah ekspresi, entah itu senang atau mungkin sedih,
misalnya, kamu memerankan seorang wanita yang dikhianati temanmu, maka
ekpresi apa yang akan kamu terima? Marah, kesal? benar. Hal yang sangat
diperhatikan oleh sutradara adalah, beraksi secara natural, bukan
berpura pura." Kata Stella menjelaskan.
Sonya
mendengarkan baik baik perkataan Stella barusan, dan akhirnya pun ia
bisa memahami ucapannya barusan. "Aku sekarang mulai mengerti. Terima
kasih banyak kamu mau menjelaskan ilmu tersebut padaku. Aku binggung
harus belajar pada siapa."
Stella
tersenyum. "Itu tidak seberapa. Keluarkan seluruh kemampuanmu saat
casting berlangsung, sebab, direktur paling tidak ingin melihat peserta
yang gugup atau mungkin ekspresi yang dibuat buat."
Sonya menggangguk. "Aku akan berusaha."
Seorang
sutradara terkenal, penulis naskah serta Direktur Pelangi menghuni ruang
casting. Seorang wanita yang merupakan penulis naskah mulai mengeluh
pada arahan yang diucapkan Direktur sebelumnya. "Apa anda yakin kita
akan menilai empat orang peserta dalam waktu yang bersamaan?"
Direktur menjawab. "Kita tidak punya waktu. Banyaknya peserta membuat ku mengambil keputusan itu."
Penulis tetap
ngotot. "Tapi, peserta mungkin akan sulit menilai karakter, konsentrasi
serta observasi dengan naskah yang hanya berisi 3 lembar saja."
"Itulah
tugasmu. Anda harus bisa membuat naskah yang mudah dipahami oleh si
pembaca. jika anda masih bisa mengeluh, maka aku tidak akan memanggilmu
sebagai penulis berkelas." Balas Direktur dengan tajamnya.
Mau tidak mau
penulis itu menuruti apa yang diucapkan direktur. Sonya, Shiva, Rica
serta Stella, suatu kebetulan mereka berempat berada diruang Casting
bersamaan. Mereka berempat diberikan sebuah naskah skenario yang
meliputi karakter, plot dan juga Scene. Masing masing dari mereka mulai
membaca dengan sungguh sungguh. Tubuh Sonya masih bergetar gugup sambil
memegang naskah ditangannya.
Jika kamu terus gelisah seperti itu, maka kamu tidak akan pernah berhasil dalam casting itu.
Untungnya,
kalimat Stella masih terbayang bayang dalam pikiran Sonya, dan ia pun
berusaha untuk menghilangkan rasa gemetarannya. Sonya melirik angkuh
keberadaan Rica yang berada 3 kursi dari miliknya. Ia akan menunjukkan
pada Rica bahwa yang tidak berbakat pasti bisa melakukannya dengan
berlatih sungguh sungguh. Rica mulai menyadari pandangan Sonya yang
berlebihan, Ia balik memandang tajam wajah Sonya dari tempatnya.
Penulis naskah
mulai membuka mulutnya untuk menambahkan sedikit penjelasan pada para
peserta mengenai skenarionya. "Seorang gadis kaya raya yang mendapat
perjodohan dengan Ibunya sendiri, lantas gadis tersebut merasa telah
menerima kekecewaan dari orang tuanya mengenai perjodohan tersebut. Aku
menempatkan pemeran gadis utama itu pada Sonya. Dan kemudian Ibu dari
gadis tersebut aku akan memakai Rica. Sisanya Shiva serta Stella, kalian
merupakan saudara kandung dari gadis itu, tugas kalian hanyalah
mendukung keberadaan Sonya dengan menolak perjodohan yang sudah Ibunya
rancang. Apa kalian mengerti maksud dari naskah yang aku buat?"
Semuanya menggangguk dan kembali membaca.
Setelah memakan waktu selama 10 menit, akhirnya mereka pun sudah siap untuk melakukannya. Sonya membuang nafas panjang.
"Persiapkan
diri kalian. Ini bukan saatkan kalian untuk berpura pura, buatlah akting
yang natural seolah olah kalian berada didalam suasana dalam skenario
tersebut." Kata Sutradara.
Semua siap
dalam posisi masing masing. Sonya menggangkat kepalanya memandang tajam
Rica, sebaliknya, Rica pun memandang sama tajamnya.
ACTION!
Sonya yang baru
saja pulang kerja, sudah harus berhadapan dengan Ibunya, Rica, yang
akan memberitahukan perihal perjodohannya dengan seseorang yang
berkelas.
"Kamu sudah datang, duduklah." Perintah Ibunya (Rica).
"Ada perlu apa, Bu?" Tanya Sonya.
"Datanglah
ke sebuah pesta dalam pembukaan cabang baru dari Perusahaan 'Style
Fashion' besok malam. Ibu akan memperkenalkan pria yang cocok untukmu."
Sonya Jengkel,
menatap tajam Ibunya. "Apakah tradisi perjodohan juga berlaku pada Ibu
waktu itu? Kalau iya, apa Ibu bahagia? Apa Ibu sudah hidup senang?"
"Jangan
membantah!" Bentak Rica. "Demi menjaga jalannya suatu bisnis, kita harus
saling bekerja sama dengan orang yang sederajat. Apa kamu mengerti?"
Sonya masih
melawan. "Lagi lagi Ibu membicarakan tentang bisnis. Apakah bisnis lebih
penting dari sebuah kebahagiaan? Apa Ibu senang melihat anak Ibu
menderita jika Ia sudah berkeluarga? Apa itu maunya Ibu pada diriku?"
Omongan terakhir Sonya membuat wajah Ibunya (Rica) membara.
Lantas kedua Adik Sonya datang menyampur perdebatan tersebut, mereka adalah Shiva dan juga Stella.
"Aku juga
tidak setuju jika nanti aku akan berakhir seperti kak Sonya juga. Sebuah
cinta bukan dinilai dari uang, melainkan hati." Campur Shiva.
Rica mendengus.
"Cinta? Apa kalian masih percaya dengan itu? Dunia yang sekarang
sungguh berbeda, mereka yang memilih cinta akan berakhir sengsara, kumuh
dan juga menyedihkan. Lihatlah hidup kalian sebelum dan sesudah aku
menikahi pria kaya. Kalian bahkan bisa memilih sepatu atau tas yang
kalian suka dengan harga jutaan di toko sana. Apa lagi yang kalian
keluhkan?"
Stella mulai
membuka mulut. "Tetapi, dari hati yang paling dalam apa ibu bahagia? Ibu
hanya melihat dari sisi luarnya saja, bahwa uanglah segala galanya,
namun sebuah kasih sayang akan menyempurnakan hidup seseorang."
CUT!
"Sebelum
kita melanjutkan adegan tersebut, aku ingin menanyakan sesuatu pada
kalian. Yang pro bukan berarti tidak mendengarkan ucapanku ini. Apa itu
arti dari sebuah aktor?" Kata Direktur, lantas ia menoleh pada Sonya.
"Kamu duluan." Tambahnya.
Sonya mendadak
kaget menerima pertanyaan dari Direktur, tubuhnya gemetaran. "Ak.. Aktor
adalah seseorang yang memerankan sebuah drama." Jawab Sonya terbata
bata.
Direktur menghela nafas. "Semua orang pun akan berkata hal yang sama. Stella, kamu yang tambahkan."
"Seseorang
yang berperan dengan kemampuan berekspresi untuk menciptakan perasaan
perasaan yang dimilikinya." Jawab singkat Stella.
Direktur membalas. "Masih kurang lengkap."
"Seseorang
dengan kemampuan berekspresi dengan teknik teknik penguasaan tubuh
seperti relaksasi, konsentrasi, kreatifitas dan juga kepekaan." Serobot
Shiva tiba tiba.
"Hampir betul" Kembali Direktur membalas.
Rica mulai
membuka mulutnya. "Hal terpenting ada pada sosok seorang aktor adalah,
mampu mengasosiasikan kedalam aksi dramatis, sehingga si aktor tidak
terlalu banyak berhadapan dengan naskah, ia akan berekspresi dengan
dirinya. Melalui Latihan improvisasi yang dapat dilakukannya,
menghasilkan kemampuan ekspresi sesuai dengan suasana dan situasi dalam
pementasan. Dalam arti pendek dari yang saya jelaskan barusan, bahwa
aktor dituntut untuk bisa berekpresi tanpa harus melihat naskah yang
tertulis, namun melihat dari suasana dan situasi dalam adegan."
Direktur
manggut manggut tersenyum mendengar penjabaran Rica barusan mengenai
aktor. "Itulah yang dimaksud dengan aktor." Kata direktur yang betul
betul memihak pada jawaban Rica barusan.
Lagi lagi Sonya
harus dilangkah oleh Rica, Ia menghela nafas. Walau kejengkelan masih
menghantui hati Sonya, namun ia mengakui keahlian Rica.
Diwaktu yang
sama, tempat yang sama, Dhike kembali berniat menemui Sendy ketika itu
disebuah cafe langganannya. Dhike terlihat mendung wajahnya. Belum ada 3
menit, Sendy sudah datang menghampiri Dhike.
Sendy tersenyum. "Apa kali ini aku kembali terlambat?"
Dhike menggeleng. "Duduklah. Ada banyak hal yang ingin aku sampaikan padamu." Kata Dhike.
"Aku juga." Balas Sendy.
Dhike mengambil
sebuah surat kesehatan kepunyaan Ayu dari rumah sakit, surat itu dia
sodorkan pada Sendy. "Yang pertama, ini mengenai kesehatan Ayu. Aku tahu
bahwa kamu juga mengkhawatirkan dirinya, maka dari itu aku
memperlihatkan surat ini padamu."
Sendy mengambil
surat tersebut dengan wajah yang binggung, Ia mambacanya dalam sekejap.
Sendy mendelik setelah tahu bahwa surat tersebut berisi penyakit yang
akan diderita Ayu. "Sampai separah itukah?"
Dhike
menaggangguk berat. "Perihal mengenai Ayahnya saja belum beres, ia mesti
sudah harus menerima pukulan yang berat tentang penyakitnya. Dia pasti
sungguh tersiksa." Keluh Sendy.
"Aku masih belum memberitahu perihal penyakitnya pada Ayu. Ia tidak ingin tahu."
"Benarkah? Tapi, apa itu hal yang terbaik untuknya?" Tanya Sendy.
"Entahlah. Oya, apa sudah ada perkembangan mengenai keberadaan Ayahnya?"
Sendy mulai
menjelaskan hasil pemantauannya pada Dhike. Wajahnya menunjukkan
kejanggalannya. "Memang sedikit aneh, tetapi hingga kini aku masih belum
bisa menyimpulkan secara keseluruhan." Sendy mengambil sebuah arsip
mengenai data data perusahaan milik Ayah malang itu. Ia tunjukkan arsip
itu pada Dhike. "Ini merupakan data data perkembangan bisnis dari
perusahaannya. Seperti yang kamu lihat, bisnis nya saat itu menunjukkan
angka yang bagus. Dan Ayahnya tidak mempunyai pinjaman dari pihak
manapun. Jadi bisa aku simpulkan, ini tidak ada kaitannya dengan
perusahaan." Kata Sendy menjelaskan.
Dhike masih belum puas mendengarnya. "Apa tidak ada lagi yang kamu curigakan?"
Sendy kembali
berfikir, matanya mendadak melotot, Ia mengingat akan sesuatu. "Heri ...
Apa kamu pernah mengenal nama itu?" Tanyannya pada Dhike.
"Heri? Bukankah dia itu supirnya Ayah Ayu. Memangnya ada apa?"
"Di waktu yang sama, Supirnya pun menghilang."
Seketika Dhike
memasangkan wajah yang serius. "Heri merupakan supir yang sudah Ayahnya
anggap seperti keluarga sendiri. Ayah ayu tidak pernah percaya pada
siapapun kecuali pada Supir pribadi miliknya. Apa mungkin ... Saat ini
supir itu bersama dengannya? Apa kamu bisa mencari tahu lebih dalam
mengenai supirnya?" Pinta Dhike.
Sendy manggut manggut. "Pasti. Namun sebelum itu, aku ingin menanyakan sesuatu padamu."
"Apa itu?"
Sendy terdiam
sejenak, Ia menatap Dhike sungguh sungguh. Sendy sedikit binggung apakah
ia harus menanyakannya pada Dhike atau tidak. Namun rasa penasarannya
membuat ia harus menanyakannya pada Dhike. "Sebenarnya ... Hubungan
spesial apa yang kamu miliki dengan Ayu?" Tanyanya sungguh sungguh.
"Hanya teman sewaktu ku kecil." Sahut Dhike singkat.
"Aku menemui
rekan kerja Ayah Ayu tiga hari yang lalu. Dan aku mendapat sebuah teka
teki yang masih tanda tanya. Ia berkata, sebelum Ayah Ayu pergi
menghilang, ia sempat mengeluh mengenai perihal keluarganya. Dalam
keluhannya, ia pun menyebut nyebut namamu."
Dhike tercengang. "Aku?"
"Benar... Kamu." Ucap Sendy memperjelas.
Dhike
menggeleng geleng kepalanya, ia sungguh tidak mengerti sebenarnya apa
yang sudah terjadi saat itu. "Apa aku ada kaitannya dengan kepergian
Ayahnya? Aku sungguh tidak tahu apa apa mengenai itu."
"Kamu tenang saja, aku akan terus mencari kebenaran." Kata Sendy berusaha membuat rasa penasaran Dhike hilang.
Tiba tiba saja ponsel Dhike berbunyi, Ia mendapat panggilan dari Ayu. Dhike segera menggangkat teleponnya.
"Halo? Ayu, ada apa?"
"kakak ...
Cepat datang kesini, aku membutuhkanmu saat ini. Aku begitu benar benar
terpukul melihatnya. Cepatlah!" Kata Ayu dengan nada yang sedang
menangis.
Dhike terheran heran sambil menutup teleponnya.
"Ada apa?" Tanya Sendy.
"Ayu
memanggilku. Lain kali, kita akan sering bertemu. Aku minta maaf, aku
harus segera menemui Ayu saat ini." Kata Dhike tergesa gesa dan tidak
enak hati.
"Oh, tidak
apa. Dikeadaan yang sekarang Ayu mungkin akan lebih membutuhkanmu, aku
bisa memakluminya. Sampaikan salamku padanya, lain waktu aku akan
bertamu ke apartemennya."
Dhike mengangguk dan segera meninggalkan Sendy.
BERSAMBUNG.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar