Menurut istilah
sekarang, Mutiara akan selalu mempunyai cahaya terang dikulitnya, hanya
saja, butuh waktu untuk menghidupkan cahaya tersebut. Itulah rencana
yang akan Direktur Pelangi Entertainment lakukan pada sejumlah peserta
buangannya.
"Kumpulkan
dan Periksa kembali semua arsip dari tiga tahun yang lalu. Panggil semua
orang yang pernah mendaftarkan diri pada Pelangi Entertainment."
Perintah direktur pada asistennya.
"Aku sedikit terkejut dengan langkah yang anda ambil kali ini. Apa yang anda pikirkan?" Tanya Asisten.
Direktur
menoleh. "Sesuatu yang kita kerjakan sungguh sungguh untuk mencapai
suatu tujuan, lantas seseorang tersebut menerima kekecewaan di akhir
skenario, kira kira apa yang akan mereka dapatkan? Putus asa. Seperti
itulah, keputusasaan membuat jalan yang terbentang terhalangi oleh
tembok besar. Saya tidak ingin impian yang mereka idam idamkan buntu
seketika tanpa adanya pencapaian dalam dirinya. Saya akan mencoba
membangkitkan kembali jiwa yang telah terkubur dengan memanggilnya
kembali."
Seorang penulis
wanita muda datang menghampiri Direktur untuk memberi laporan. Penulis
tersebut bernama Lia, wanita yang sebelumnya pernah bertemu dengan
Shania. "Aku sudah menyelesaikan Episode 3. Kali ini, akan aku pastikan
bahwa naskahku tidak akan disentuh oleh pihak lain, aktor, sutradara,
maupun Anda sendiri."
Direktur hanya
bisa menggangguk memahami keadaan si penulis. Memang tidak enak rasanya
menerima revisi terus menerus dari kalangan pihak dalam, itulah resiko
sebagai seorang penulis.
"Saya tidak menyangka Anda bisa menyelesaikannya secepat itu. Lanjutkan kerjamu." Puji Direktur sambil tersenyum.
***
Sebuah taksi
mengkilap melaju dan terpakir didepan sebuah apartemen kediaman Haruka.
Seorang gadis belia menunjukkan sosoknya dengan menonjolkan style
fashion yang terbilang modern. Rambutnya yang sebahu di ikat, hidungnya
mancung, parasnya cantik. Pakaian yang dikenakannya pun tidak
ketinggalan jaman, orang yang melihat keberadannya pasti akan
berkomentar bahwa gadis tersebut merupakan 'orang punya'. Gadis tersebut
melirik pada sebuah apartemen diatas, tatapannya tertuju dengan jelas,
sepertinya Ia memang sudah pernah berkunjung sebelumnya.
Beberapa saat kemudian ...
Haruka tepat
berada didepan pintu apartemennya, Ia terlihat membawa banyak kantong
plastik berisi persediaan makanan yang baru saja dibelinya di
supermarket. Ia memasukkan password kamar apartemennya. Baru beberapa
langkah menuju ruang tamu, Ia dikejutkan oleh sesosok gadis yang sedang
tertidur lelap di sofa. Rasa terperanjatnya hanya sesaat, sebab Haruka
mengenal gadis tersebut.
Haruka tersenyum memandanginya. "Dia pasti lelah sekali melakukan perjalanan dari Jepang."
Gadis tersebut
terbangun. Ia bangkit dari rebahannya, menatap Haruka dan memeluknya
erat. "Aku sungguh rindu denganmu. Sudah 2 tahun lamanya kita tidak
bertemu. Bagaimana kabarmu disini?"
"Apa yang mambawamu jauh jauh sampai kesini?" Tanya Haruka dengan wajah yang biasa biasa saja.
Ayana Shahab,
begitulah nama lengkap dari gadis yang baru saja menemui Haruka. Ayana
merupakan sahabat Haruka saat berada di Jepang, keakrabannya begitu
dekat. Walau umur mereka berbeda jauh, namun Ayana terlihat sebagai
wanita anggun dan juga dewasa. Kehidupannya yang rumit membuat Ayana
sebelumnya memang suka berpindah pindah dari Jepang ke Indonesia, entah
kehidupan apa yang Ia jalani.
Haruka
menyuguhkan secangkir teh hangat pada Ayana. Diruang tamu mereka duduk
berhadapan diatas sofa. Prilaku Kedua gadis tersebut mempunyai
kemiripan, dari cara memandang seseorang atau mungkin pengucapannya.
"Apa kamu masih bekerja ditoko kue?" Tanya Ayana.
Haruka hanya menggangguk.
"Apa itu menyenangkan? Apa tidak ada yang menganjal dalam kehidupanmu?" Tanyanya kembali.
"Sebenarnya,
apa yang ingin kamu bicarakan denganku?" Balik Haruka bertanya. Sebab,
sebelumnya memang Ayana tidak pernah mempermasalahkan apa yang menjadi
profesi Haruka.
Ayana tertegun
sejenak, lantas ia menatap Haruka. "Aku dengar, Pelangi Entertainment
kembali menarik semua peserta dari 3 tahun yang lalu. Aku mendapat Email
dari perusahaan mereka. Bagaimana tanggapanmu?"
"Maksudmu,
kamu datang jauh jauh kemari hanya untuk mengajakku kembali terjun ke
dunia hiburan? Itu kan yang kamu maksud?" Terka Haruka, Wajahnya
seketika mendung.
"Mencoba
yang kedua kali bukan berarti sepenuhnya seseorang tidak mempunyai
bakat. Hanya saja, mungkin itu hanya waktu yang tertunda dan butuh
proses untuk menggapainya. Aku mengatakan ini sebagai sahabatmu yang
sama sama mempunyai tujuan dan impian yang sama. Semudah itukah kamu
melupakan angan angan mu?" Kata Ayana berusaha menjelaskan.
Haruka menatap
kuat Ayana dihadapannya. "Aku senang dengan apa yang aku lakukan saat
ini. Lagipula, seseorang berhak mempunyai lebih dari sekedar 1 impian
aja. Menjadi pengusaha sukses, aku akan meraihnya dengan kedua
tanganku..."
"Apa kamu
ingin mengikuti jejak orang tuamu yang menjadi pengusaha? Aku tahu bahwa
ini adalah jalan kedua yang kamu tempuh, setelah sebelumnya jalan utama
yang kamu lalui buntu akibat kegagalan yang kamu dapatkan." Kata Ayana.
Ayana menambahkan, Ia berusaha membuat Haruka mengerti. "Ini adalah
kesempatan kedua. Ayo kita kejar mimpi itu bersama."
Haruka belum menjawab, Ia malah memalingkan wajahnya.
Melihat tingkah
Haruka, Ayana sedikit jengkel. "Benar, aku datang jauh jauh hanya untuk
memberitahumu informasi ini. Karena aku merasakan apa yang kamu rasa.
Kita sama sama menerima keputusasaan ..."
Haruka
memotong. "Aku sudah mengubur masa itu dalam dalam. Sungguh sulit
untukku kembali menggalinya. Biarkan aku memilih jalan ku sendiri, aku
minta maaf."
Ayana kehabisan
cara. Ia merenung, kembali mengingat kalimat kalimat manis yang Haruka
ucapkan saat berada di Jepang. "Tidak bisakah kamu melakukannya? Kamu
bilang, Menyanyi adalah bumbu penyedap dalam hidupmu, tidak seharipun
yang terlewat tanpa bernyayi. Sebelum tidur, saat ingin berangkat
sekolah, atau bahkan saat berada di kamar mandi, yang kamu lakukan
hanyalah menyanyi untuk membuat hidupmu sempurna."
Haruka menjadi
serba salah. Sebenarnya Haruka memang menyukai kehidupan yang Ia lakukan
sekarang, namun disisi lain, Ia pun ingin menggapai angan yang lain.
Haruka ingin membuka mulutnya, tapi tak segera keluar. Dan akhirnya
Haruka mencoba mengalihkan pembicaraan. "Aku harus ke toko sekarang.
Jika kamu ingin makan sesuatu, semua ada di kulkas."
Haruka
menambahkan. "Oya, Saat ini aku tinggal bersama dengan dua orang temanku
di apartemen ini. Sapalah mereka dengan baik." Haruka segera
meninggalkan Ayana.
Ayana mendengus. Kejengkelannya melonjak saat Haruka mengakhiri percakapannya tanpa ada penyelesaian.
Ayu yang sedang
duduk manis ditaman seketika tersipu melihat kedatangan Cindy. Ayu buru
buru bangkit dari tumpuannya dan menyapa Cindy yang masih mengenakan
pakaian seragam sekolah. "Maaf merepotkanmu."
Dengan cepat Cindy membalas. "Oh, tidak apa apa."
Sebelumnya Ayu
memang meminta Cindy untuk menemuinya ditaman. Kesehatan Ayu memang bisa
dikatakan sudah membaik, Ia sudah dipulangkan dari rumah sakit. Namun,
sesuatu yang tidak diharap harapkan nantinya juga akan menimpa Anak
malang tersebut. Hanya tinggal menunggu waktu, suatu saat Ayu akan
kehilangan penglihatannya.
"Boleh aku meminta sesuatu darimu?" Pinta Ayu.
"Apa itu?"
Ayu meraih lengan Cindy. "Tolong temani aku untuk melihat keindahan dunia ini."
Cindy mendadak
terdiam, Ia jadi merasa sungguh Iba pada Ayu. Cindy mengetahui apa yang
akan diderita oleh Ayu melalui Dhike, bahwa penglihatannya akan segera
hilang. Cindy mendekap erat Ayu dengan air mata berlinang. "Mengapa
semua ini terjadi padamu. Kamu juga pasti ingin sekali menjalani
kehidupan seperti yang aku jalani saat ini. Bersekolah, jalan jalan ke
mall, atau mungkin mengejar impian yang di idam idamkan. Apa semua itu
akan berakhir?"
"Aku tidak
tahu apa yang akan terjadi pada diriku. Maka dari itu aku akan
meninggalkan jejak yang indah sebelum hal yang tidak diinginkan
menimpaku. Aku tidak sanggup untuk mengajak Kak Dhike, karena mungkin Ia
akan selalu mencemaskan aku. Maka dari itu aku memintamu untuk
menemaniku." Kata Ayu.
Memang benar,
Ayu belum mengetahui apa yang akan dideritanya dikemudian hari. Ayu
tidak ingin tahu dan tidak mau tau soal itu. Sebab, mungkin pikirannya
tidak akan tenang jika Ia mengetahui penyakit yang akan dideritanya.
Dibalik wajah
Ibanya, Cindy tersenyum lebar. "Cepat katakan apa yang ingin kamu
lakukan bersamaku. Aku akan mewujudkannya untukmu. Dan aku akan
menyingkirkan siapa saja yang ingin menghalangimu." Katanya didampingi
tawa.
Sebuah tempat
hiburan, yakni Dufan (Dunia Fantasi), Ayu mengajak Cindy ketempat itu.
Berisik, Padat dan ramai. Seperti itulah suasana yang tergambar saat
itu. Setiap kaki melangkah, musik berirama disko kendengaran menyentak.
Hanya wajah ceria yang berseri seri yang terpajang disetiap orang.
Wahana yang tersaji disana membuat siapa saja kagum.
Pandangan Ayu
jatuh pada salah satu wahana didepannya. Yakni Hysteria, Menara setinggi
56 meter. Ayu menoleh pada Cindy. "Aku ingin sekali mencoba wahana itu,
Ayo temani aku." Ajaknya. Cindy terkejut, Ia menelan ludah panik.
Sebenarnya Cindy sungguh takut dengan wahana tersebut, Ia pun menjadi
serba salah. Karena sebelumnya Cindy berkata akan mewujudkan semua
keinginan Ayu.
Pengunjung
mulai ditembakkan keatas dengan kecepatan 4G dan kemudian dijatuhkan
dengan kapasitas minus 1G. Adrenalin mereka mulai bergejolak, mereka
berteriak menikmatinya. Begitupun dengan Cindy, rasa takutnya hilang
begitu saja setelah menjajal wahana barusan. Cindy begitu antusias, dia
makin bersemangat.
"Ayo kita
coba yang itu." kata Cindy dengan menunjuk pada sebuah wahana bernama
Tornado. "Atau mungkin yang itu." Tambahnya dengan menunjuk wahana
bernama Halilintar. "Atau mungkin rumah hantu. Ayo kita coba semuanya."
Tambahnya lagi.
Ayu terdiam
benggong dengan tingkah Cindy yang berubah drastis. Sebelumnya Cindy
tidak sesemangat itu, Namun Ayu senang. Ayu menggandeng lengan Cindy dan
kemudian mereka berlari dengan wajah yang bercahaya menjajal setiap
wahana.
Setelah mereka
puas dengan wahana yang menjadi pilihannya, akhirnya mereka beristirahat
disebuah taman dengan banyak toko suvenir disekelilingnya. Ayu
memandang sebuah toko yang penuh dengan boneka, Ia menghampiri dan
kemudian mengambil boneka kelinci berwarna putih. Boneka itu
mengingatkan Ayu pada kakak angkatnya.
"Aku pernah
menabung dari hasil uang jajanku hanya untuk membeli sebuah boneka. Aku
Begitu senang saat boneka itu sudah ada dalam gengammanku. Semua kasih
sayangnya, perhatiannya serta didikan yang pernah Ia berikan padaku, Aku
menghadiahkan boneka itu padanya." Kata Ayu sambil memandangi boneka
ditangannya.
Cindy menerka. "Apa dia kakak angkatmu?"
Ayu
menggangguk, Ia menoleh pada Cindy. "Apa kamu mempunyai orang yang kamu
sayangi? Sudahkan kamu memberinya hadiah? Aku yakin, Orang tersebut akan
sadar bahwa kamu berniat berterima kasih padanya. Lantas Ia akan merasa
senang bahwa Ia telah berguna baginya."
Cindy
menggangguk, Ia pun merasakan hal yang sama. "Aku mempunyai banyak orang
yang aku sayangi, begitupun dengan mereka yang selalu menyayangiku. Hal
yang paling aku banggakan yaitu, saat sahabat sahabatku membela serta
mencemaskan diriku. Aku tahu bahwa mereka sungguh berharga bagiku."
Ayu membeli
boneka yang sedang Ia pegang, setelah menyelesaikan pembayaran, mereka
berdua berjalan jalan dan berakhir disebuah kursi taman. Mereka berdua
bersimpuh memandang keramaian didepan sana.
"Hal yang
paling aku takut takuti yakni kegelapan. Dimana kegelapan akan membuat
dirimu buntu dan tidak bisa melakukan apa apa. Aku benci saat dimana ada
kilat disertai suara petir yang besar, aku bisa berteriak ketakutan
karenanya." Kata Ayu.
Cindy memegang
bahu Ayu secara perlahan. Cindy berbelas kasih, Mengapa hal yang
ditakutinya mesti harus menyelimutinya dikemudian hari. Cindy termenung,
hatinya yang hangat membuat rasa kasihan yang timbul sungguh besar,
membuat dirinya ingin membantu penderitaan Ayu, tetapi bagaimana?
"Apapun yang
akan terjadi, aku harap kamu tetap bersikap tegar. Masih ada aku, kak
Dhike dan juga lainnya yang akan selalu hadir disisimu."
Ayu memandangi
kerumunan yang ada dihadapannya, terlihat seorang Ibu dan Ayah yang
sedang memanjakan anaknya dengan membelikannya cenderamata. Semua
berwajah riang, berseri dan bercahaya dengan murninya.
"Kebahagiaan
itu hanya sesaat yang ku lalui. Waktu begitu cepat berlalu hingga
diriku berada didalam sebuah ruangan yang tanpa cahaya." Kata Ayu
bersedih.
"Tidak ada
yang bisa meramalkan nasib seseorang. Mungkin dengan adanya kebersamaan,
maka kamu akan merasa kuat untuk bisa melaluinya." Kata Cindy membuat
Ayu untuk terus kuat.
Lama kelamaan
bahan obrolan menjadi mengering, Lagipula langit sudah petang. Ayu
memberikan boneka yang baru saja dibelinya pada Cindy. Timbul pertanyaan
dari dalam hati Cindy. "Apa kamu ingin berterima kasih padaku?" Cindy
semakin tersipu. "Ini belum seberapa, mungkin kedepannya akan ada banyak
hal yang akan kita lakukan bersama."
Ayu menatap
Cindy, Ia tersenyum. "Terima kasih banyak telah menemaniku hari ini. Aku
tidak akan melupakan hari ini. Dan juga ... Aku minta maaf karena telah
merepotkanmu, aku bahkan tidak mempersilahkanmu untuk mengganti
pakaianmu. Salamkan saja aku pada beby dan juga Delima, kita pasti akan
bertemu lagi."
Cindy balik melempar senyum. "Pasti..."
Saat saat ini
Haruka menjadi binggung. Perasaannya sungguh tidak enak, disaat yang
lain sibuk membuat makan malam, Haruka malah lebih memilih duduk
bersantai di sofa apartemennya. Diruang dapur, sudah ada Shiva, Akicha
serta Ayana. Baru baru ini mereka berteman. Shiva serta Akicha
menghormati betul sosok Ayana, Ia begitu murah senyum dan mempunyai hati
yang hangat, berada disebelahnya sungguh membuat perasaan tentram.
Ayana yang sedang membuat adonan menoleh pada Shiva. "Jadi, kamu adalah rekan kerja Haruka ditoko?"
"Ya..."
Sahutnya. "Dia sangat mahir membuat berbagai kue yang enak, aku begitu
kagum dengannya." Tambahnya dengan berbisik pada Ayana.
Ayana hanya
manggut manggut, Ayana memang sungguh percaya bahwa Haruka pandai
melakukannya, sebab, di Jepang pun kedua orang tua Haruka memang seorang
pengusaha yang menjual berbagai kue. Sejak kecil Haruka memang sering
sekali membantu orang tuanya dalam menjalani bisnis.
Ayana menjadi
serba salah, Niatnya Ia kemari hanya untuk mengajak Haruka terjun
kembali kedunia hiburan. Namun, sepertinya Haruka memang benar benar
sudah merasa nyaman dengan bidang nya kali ini.
Sedangkan
dipojokan, Akicha sering sekali berdiam diri. Shiva datang menghampiri
kakaknya itu. "Mau bantu aku memotong wortel?" Tanyanya. Daripada
berdiam diri, pikirnya.
"Sop
merupakan makanan kesukaan Ibu, aku selalu memikirkannya. Bagaimana Ibu
mengajari aku membuatnya. Aku selalu menyesal tidak dapat melihat Ibu
dikeadaan terakhirnya, aku bahkan belum sempat berkata salam perpisahan.
Aku sungguh menyayangi Ibu dan juga Ayah. Mereka yang mendidik kita dan
merawat kita hingga kita menjadi anak baik." Kata Akicha dengan
tangisnya.
Shiva
memakluminya, Ia memegang pundak kakaknya. Shiva tersadar bahwa ia telah
melakukan kesalahan yang besar dimasa lalu. "Kakak istirahat saja, biar
aku dan Ayana yang membuat makan malam."
Akicha berjalan
menuju ruang santai, Ia duduk tepat disebelah Haruka. Haruka memandangi
Akicha yang pipinya basah akibat tangisnya. "Apa kamu bisa menjawab
pertanyaanku?"
Akicha menoleh. "Ya?"
Haruka menarik
nafas. "Bukannya aku berlagak sok padamu, dan aku juga belum tau betul
apa yang kamu rasakan. Karena aku masih mempunyai orang tua."
"Lalu?"
"Apa yang
kamu dapat setelah menangisinya? Sesuatu yang kamu tangisi terus menerus
hanya akan membuat hatimu rapuh. Tidak ada orang tua yang suka melihat
anaknya menderita dengan tangisnya. Melihat dirimu sukses dan mengenggam
dunia ini dengan kedua tanganmu, itulah yang semua orang tua inginkan
pada anaknya. Mereka menyekolahkanmu, merawatmu, tujuannya hanya untuk
melihat anak anaknya sukses dan hidup bahagia. Walau aku tahu bahwa kamu
tidak bisa menunjukkannya secara langsung, tetapi buktikannlah pada
mereka. aku yakin, kamu pun akan merasa bahagia atas kesuksesanmu." Kata
Haruka.
Akicha diam
sejenak, lalu Ia menoleh pada Haruka. "Kamu benar, namun menghilangkan
semua memori itu sungguh sulit, mereka datang dan terus berputar putar
dipikiran, membuat ku terus memikirkannya." Keluh Akicha.
Suara bel
apartemen berbunyi, Haruka menutup pembicaraannya dengan Akicha lalu
berjalan untuk membuka pintu. Pintu pun sudah terbuka, Haruka sedikit
heran dengan orang yang ada dihadapannya, Ia tidak mengenalnya. Satu
orang wanita beserta asistennya. "Apa benar wanita yang bernama Shiva
tinggal disini?" Tanya wanita itu.
Haruka menggangguk. "Benar, ada apa? Silahkan masuk."
Haruka berjalan
untuk menjemput Shiva yang sedang didapur. Shiva tercengang memandangi
tamu wanita itu. Perasaannya seketika menjadi jengkel. Wanita itu
merupakan seorang Juri yang pernah menilai Shiva saat Audisi
berlangsung.
"Apa kabar? Apa kamu masih mengenalku?" Tanya Juri itu basa basi.
"Aku tidak
pernah lupa dengan orang orang yang pernah menyakiti perasaanku. Kabarku
baik. Ada apa? Sepertinya anda menyesal memperlakukanku dimasa lalu."
Sahut Shiva begitu emosional.
Juri tersebut mendengus. "Kalau bukan karena direktur, aku tidak akan menemuimu kali ini."
Lantas Juri
tersebut mengambil beberapa dokumen berisi sebuah kontrak dari dalam
tasnya. Ia berjalan menghampiri Shiva. "Ini merupakan kontrak casting
yang akan dilaksanakan 2 hari lagi. Namun kamu jangan senang dulu, ada
ratusan orang yang akan mengikuti casting ulangan yang dipimpin oleh
Direktur Pelangi Entertainment sendiri. Jika anda lolos dalam casting
tersebut, maka aku akan memberitahu kekurangan yang ada pada dirimu.
Saat audisi berlangsung waktu itu, aku membencimu karena memang ada
alasan tertentu. Aku tunggu kedatanganmu."
Haruka menjadi
tertarik dengan percakapan tersebut, Ia menghampiri juri tersebut. "Apa
aku boleh tau mengapa Direktur ingin sekali mengumpulkan orang orang
yang telah gugur?"
"Tidak ada
alasan yang tersembunyi. Hanya saja, Direktur berbaik hati pada mereka
yang masih ingin meraih mimpinya." Jawab Juri itu.
Haruka terdiam,
nyatanya bahwa Haruka pun begitu antusias dengan langkah yang diambil
oleh Direktur. Akicha ikut merenung sebentar, Ia hanyut dalam percakapan
tersebut. Ia kembali mengingat kalimat kalimat Haruka barusan. 'Tidak
ada orang tua yang ingin melihat anaknya menderita. Mereka
menyekolahkanmu dan merawatmu hanya ingin melihatmu sukses dan bahagia.'
BERSAMBUNG....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar