Waktu berjalan
begitu cepatnya. Kini, aku dan teman temanku sudah berseragam putih abu.
Namaku Cindy, hingga sekarang, aku, Beby serta Delima bersekolah
ditempat yang sama. Hampir keseharianku ku habiskan bersama dengan
mereka. Aku masih tidak bisa melupakan kejadian maut yang menimpaku
dahulu, hingga nyawaku hampir melayang sia sia, aku masih merasa
bersalah atas kejadian tersebut. Saat ku membuka mata ini, tubuhku lemah
tak berdaya, Namun, aku melihat mereka berdua tersenyum memandangiku.
Mereka rela meninggalkan impiannya hanya demi aku, demi kebersamaan yang
kami miliki.
Sikapku kini
berubah terbalik dari yang dulu, mulai sekarang aku merasa kalau aku
sudah harus berhati hati dalam mengucapkan kata, aku tidak pernah mau
membuat temanku tersinggung, marah ataupun membenciku. Maka dari itu aku
menjadi begitu pendiam dan menjaga semua perkataan yang akan ku
ucapkan. Mereka bilang, dimana sifat humor mu itu? Dimana sifat comel
mu? Mereka rindu dengan tingkah ku yang dulu. Tetapi aku tidak berani,
aku tidak berani membuat teman temanku merasa risih jika aku melakukan
itu semua. Karena, mereka telah melakukan sesuatu yang paling berharga
terhadapku, yakni kesetiakawanan. Aku tidak pernah berfikir sedikitpun
mereka akan rela meninggalkan impiannya demi aku, namun faktanya memang
begitu.
"Sepertinya
sudah 20 menit aku menunggu teman ku ditaman ini. kenapa mereka belum
juga datang? Ah, biarlah, mungkin ada sesuatu yang membuat mereka
terlambat menemuiku. Aku harap, makanan yang aku bawa di toples ini
tidak segera dingin. Aku membuat semua makanan ini dengan tanganku
sendiri, aku harap mereka akan suka. Huh, lagi lagi aku tersenyum geli
jika mengingat tingkah mereka terhadapku. Aku tidak sabar menemuinya,
cepatlah datang."
"Aku
mendengarnya! Dari arah kananku, mereka berteriak memanggil manggil
namaku. Aku sungguh senang, pancaran senyum ini tidak henti hentinya
keluar."
Dengan nafas
yang pengap, Delima serta Beby menghampiri Cindy ditaman. Masing masing
dari mereka membawa tas gendong berisi makanan. Saat itu mereka memang
akan makan siang bersama ditaman oleh ajakan Cindy.
Dibalik
nafasnya yang pengap, Beby memandang Cindy heran. "Kenapa kamu terus
tersenyum? Seharusnya kamu marah kalau kami datang terlambat. Hei beby!
Apa kamu tau aku sudah menunggumu selama 20 menit disini, kakiku sudah
sangat keram karenamu. Apa sih yang membuat kalian terlambat? Kulitku
bisa jadi hitam karena menunggumu. Nah, seperti itu yang ingin aku
dengar darimu." Kata Beby sambil memperagakannya.
Namun, tidak
ada yang berubah. Cindy hanya bisa tersenyum mendengar ocehan Beby
barusan. Dan Beby pun masih berusaha membuat Cindy marah akan
kehadirannya dengan memberitahukan yang sebenarnya. "Aku sengaja lho
mengulur waktu selama 20 menit untuk pertemuan kali ini, 20 menit itu
waktu yang lama, aku bisa beristirahat dikasurku yang empuk."
Terbalik! Yang
marah justru bukan Cindy, Melainkan Delima. "Apa kamu bilang? Bukannya
kamu bilang kamu lagi ngerjain PR! Kamu membiarkan aku berada diluar
rumahmu berdiri seperti orang bodoh menantikan kehadiranmu. Aku merasa
kakiku ini sudah seperti terikat tali tebal, aku kesemutan karenamu. Dan
perawatan kulitku akan sia sia karena terik matahari. Kenapa kamu tidak
membiarkan ku masuk kerumahmu!"
Beby cengengesan. "Nah itu yang aku ingin dengar dari Cindy. Hei Cindy, Bisakah kamu meniru gaya Delima saat marah?"
Delima semakin jengkel. "Jangan mengalihkan pembicaraan!" Jitaknya pada Beby.
"Sudah,
sudah. Aku gak apa apa. Oya, aku membuatkan makanan ini untuk kalian,
semoga kalian suka." Kata Cindy sambil memperlihatkan toples isi makanan
yang ia pegang. Melihat tingkah Cindy yang begitu berubah, membuat Beby
mengada ngada dengan berbisik pada Delima. "Tingkahnya sungguh aneh,
sejak kapan ia mau membuatkan makanan untuk kita? Sepertinya tubuhnya
sudah dirasuki roh penunggu rumah sakit." Lantas Delima membalasnya lagi
dengan Jitakan. "Jangan berpikiran yang tidak tidak!"
Beby menatap
kuat wajah Delima dari dekat. "Hei Delima, jika kamu menjitakku lagi,
maka nyawamu akan berada ditanganku." Lagi lagi Delima membalasnya
dengan wajah yang berapi api. "Nyawamulah yang sudah aku genggam kuat,
berhati hatilah.
Beby mulai
mengamcam. "Awas ya kalau kamu menyontek PR ku." Delima tidak mau kalah.
"Tak apa. Aku bisa menyonteknya lewat Cindy." Katanya sambil
menjulurkan lidahnya. Lantas Beby mencoba mengambil hati Cindy dengan
bersikap manja. "Kamu ada dipihak ku, kan? Ingat kata guru, menyontek
itu tidak baik. Jadi, kamu jangan coba coba memperlihatkan hasil kerjamu
pada Delima, ya? Ya? Ya?"
Cindy hanya bisa tersenyum. "Kalian memang tidak berubah sedikitpun." Katanya dengan wajah Polos.
Dengan cepat Delima serta Beby serentak membalasnya. "Kamu lah yang telah berubah!" Pekiknya.
Mereka bertiga
sudah ngampar bersama ditaman dengan tikar. Dibawah pohon besar mereka
berlindung dari terik matahari, sungguh sejuk udaranya. Delima serta
Cindy terlihat sibuk mengeluarkan makanan dari dalam tasnya, sedangkan
Beby hanya bisa terdiam memandangi makanan yang terus muncul dari masing
masing tas milik Cindy dan juga Delima.
Delima mulai keheranan. "Mana makananmu, Beb?" Tanyanya.
Beby berpura
pura bego. "Makanan apa? Saat ditelepon Cindy tidak mewajibkan ku untuk
membawa makanan. Jadi aku tidak membawanya."
"Apa kamu bilang! Jadi untuk apa kamu bawa tas sebesar itu?" Pekik Delima.
"Tas ini? oh, ini untuk berjaga jaga."
"Untuk apa?" Tanyanya lagi.
"Untuk mengambil makanan yang tidak kalian habiskan." Balas Beby cengar cengir.
Delima menyerah meladeni tingkah Beby. "Sudahlah, kita mulai saja makannya."
Makanan sudah tertata rapih, piring yang terbuat dari plastik sudah mulai terisi dan siap untuk dimakan.
***
"Aku tidak
percaya kamu melakukan itu semua. Kamu membunuh semua keluargaku hanya
demi melindungi sebuah fakta. Kenapa? Apa kamu takut membusuk didalam
kurungan penjara?" Teriak kesal Melody.
Lantas Stella
membalasnya dengan wajah sinis. "Tutup mulutmu! Apa kamu punya bukti
bahwa akulah orang dibalik pembantaian itu? Apa yang membuatmu merasa
begitu percaya?"
"Dari semua
bukti yang sudah ditemukan oleh pihak kepolisian, 80% menyatakan
kecocokanmu dalam kasus tersebut. Jadi, jangan mencoba untuk
menyangkalnya."
Stella masih
membangkang, ia menampar wajah Melody dengan keras. "Begitu rendahnya
dirimu menilaiku. Aku bukan orang yang akan melakukan tindakan keji itu.
Cukup sampai disini, aku tidak akan mengganggapmu sebagai teman, bahkan
aku akan mengubur semua kehidupan yang pernah kita lakukan bersama
sebelumnya."
"Cut! Cut!"
pekik seorang sutradara daribalik tumpuannya. Sutradara itu menghampiri
Stella, mungkin ia akan memberi sebuah arahan agar akting Stella
membaik. Pengambilan gambar dilakukan di pinggir pantai saat sore hari.
Ini merupakan Film pendek pertama kali yang dilakukan oleh grup Idol
yang bernama JKT48.
"Stella, apa
kamu mengerti situasi dari naskah tersebut? Coba kamu baca ulang lagi.
Saat Melody menuduhmu dengan tuduhan omong kosong, seharusnya matamu
tampak berkaca kaca. Kamu merasa dikhianati oleh temanmu sendiri dengan
tuduhan itu. Kamu mengerti maksudku?"
Stella menggangguk. "Baik. aku minta maaf, aku akan perbaiki lagi."
"Kita istirahat selama 15 menit, tolong perbaikilah." Ucapnya pada Stella.
Stella
menghampiri Melody. "Apa kamu mau menemaniku jalan jalan dipinggiran
pantai ini?" Ajaknya. Melody menggangguk dengan senyum. Mereka berdua
berjalan dipinggiran pantai sambil mengamati pemandangan laut.
Stella menunduk
masam. "Maaf... karena aktingku, mungkin kamu akan menerima tamparan
dariku lagi di adegan itu." Lantas Melody membalasnya dengan Gurauan.
"Tak apa, lagipula aku tidak akan tewas jika ditampar olehmu." Stella
menoleh pada Melody dengan senyum, untung saja Melody mengerti
situasinya, pikir Stella.
"Terasa sepi
sekali bukan, tanpa kehadiran Ikey dan juga Ayu. Aku harap, Ayu segera
siuman dan bisa membuat Ikey kembali ceria. Aku tidak tega melihatnya
terus tersiksa akan kehadirannya." Tutur Melody.
Stella menghela
nafas. "Waktu begitu cepat berlalu. Setelah kita lulus SMA, mengapa aku
menjadi begitu kesepian. Aku rindu saat kita belajar bersama sama saat
dikelas, bercanda atau mungkin makan bersama disebuah kantin. Yang masih
aku tidak mengerti dengan sikapnya, mengapa ia rela mengorbankan
kegembiraan hidupnya hanya demi temannya yang bernama Ayu itu?"
Melody
menjelaskan. "Ikatan mereka begitu kuat. Mereka sudah bersama sama sejak
kecil. Salah satu dari mereka mungkin sudah mengerti apa itu arti
berbagi dari sebuah kebersamaan. Jika salah satunya sedang mengalami
masa sulit, mungkin satunya akan merasa terbebani karenanya."
Stella mendapat
Ide. "Oya, bagaimana setelah ini kita menjenguk Ayu? Sudah hampir 3
minggu kita tidak kesana. Aku juga rindu dengan mereka berdua." Melody
mengangguk. "Ide yang bagus. Jangan lupa saat diperjalanan kamu ingatkan
aku untuk membeli beberapa makanan kesukaan Ikey, ya?." Stella
membalasnya. "Pasti!"
"Mel! Stella!" Sorak Ve yang menyambutnya dari belakang.
"Kamu kenapa kesini?" Tanya Melody setengah keheranan.
"Aku lagi
gak ada kegiatan. Aku bosan dan akhirnya nyamperin kalian kesini."
Balasnya. Kemudian Bibir Ve mendekatkan telinga Stella. "Aku juga ingin
melihat kamu menampar pipi Melo." Guraunya diselipin tawa.
Stella jadi merasa tidak enak. "Kamu ini."
Sore hari,
Dua orang wanita belia sedang dalam perjalanan pulang dari tempat
kerjanya. Melewati Sebuah danau, serta pemandangan bunga bunga yang
menghiasi pinggiran jalan raya. Tatanan komplek perumahannya sungguh
rapih, bersih juga terjaga. Perumahan elit tersebut baru baru ini
diresmikan, tentu keadaannya pun sungguh terawat. Namaku Shiva, serta
teman yang ada disebelahku bernama Haruka. Baru 1 bulan ini kami
berteman, dia begitu baik, lucu dan juga cantik. Aku berkenalan
dengannya saat kami berada direstoran kue, dan aku merupakan rekan
kerjanya.
Aku sungguh
menikmati pekerjaan tersebut. Banyak wajah wajah ceria yang
mengelilingiku. Aku merasa nyaman melakukannya, mengaduk adonan,
memasukkannya kedalam oven, serta melayani para pelanggan dengan ramah.
Akhir akhir ini aku sungguh sibuk, entahlah, mengapa aku bisa berfikir
bahwa aku ini wanita yang sibuk. Tapi yang pasti, hampir setiap harinya
aku menghabiskan waktu yang tidak sia sia.
Aku tinggal
dikediaman yang sama dengan Haruka di apartemen dekat komplek ini. Ia
memaksaku untuk tinggal bersama, mungkin ia merasa prihatin dengan
tempat tinggalku dulu. Serta, ia juga pernah bilang kalau dia merasa
kesepian tinggal sendiri, maka dari itu dia mengajakku untuk tinggal
bersama. Haruka adalah orang yang penuh Wibawa, dewasa dan juga
bijaksana, Tak heran jika dia dikagumi dan dihormati banyak rekan
kerjanya direstoran.
Seketika
langkahku terhenti melihat gerobak bajigur yang saat itu sedang mangkal
didekat danau. Aku berpikir untuk mengajak Haruka untuk mencobanya.
Lantas dengan sigap aku menarik lengan Haruka dan membawanya untuk
membeli beberapa makanan.
"Bang! Aku pesan 2 Bajigur di plastik." Perintahku.
Lantas wajah
Haruka menunjukkan Keheranannya. "Bajigur itu apa?" Lalu aku
menjawabnya. "Bajigur merupakan minuman khas Sunda yang terbuat dari
gula aren dan santan."
Sesegera Haruka
mencobanya. "Ini Enak! Apa kita bisa menjualnya direstoran? hahaha."
Guraunya. Lantas Haruka kembali menengok ke arah gerobak, terdapat
banyak makanan juga disana. Haruka penasaran dan langsung mengambil
salah satunya. "Lalu ini apa?" Tanyanya kembali pada Shiva. "Itu namanya
Pepais Pisang. Kamu coba makan." Haruka mencobanya, dan ia kembali
kagum akan rasanya. "Ini juga enak! Pak, aku pesan sepuluh, ya." Shiva
mendadak terkejut. "Kamu yakin bisa menghabiskannya?"
"Sisanya akan kusimpan dirumah nanti."
Setelah membayar makanan yang mereka pesan, mereka kembali melanjutkan perjalannya menuju apartemen.
Shiva menengok kagum kearah Haruka. "Apa boleh aku tahu apa yang kamu impi impikan didunia ini?"
"Menjadi pengusaha sukses." Jawabnya singkat.
"Kalau
aku... Entahlah, aku masih belum bisa memikirkan masa depanku. Banyak
hal sulit yang sudah kulalui belakangan ini. Aku tak sempat
memikirkannya. Yang kupikirkan hanyalah bertahan hidup dan menjauhkanku
dari kesengsaraan." Kata Shiva lemah.
Mendengar kata
sengsara, Haruka sudah menyimpulkan bahwa kehidupan Shiva mungkin
mengalami kepahitan. Ia juga melirik wajah Shiva yang seketika berubah
masam. "Hal yang paling ditakuti oleh manusia adalah kepasrahan. Tidak
banyak cara yang bisa dilakukan jika kita mengalaminya, Hidupmu akan
buntu seketika. Dan jalan akhir yang ditempuh ada pada kematian. Aku
takut sekali akan hal itu, maka dari itu aku bersikap setegar mungkin
untuk menghindarinya. Apa kamu mengerti maksudku?" Tanyanya pada Shiva.
Shiva menggangguk dengan senyum. Benar apa yang sudah ia nilai dari
kepribadian Haruka, ia begitu pantas untuk dihormati. Haruka selalu
menggunakan akal budinya saat berbicara, membuat perasaan menjadi tenang
mendengarnya.
Pusat
perbelanjaan elit dikota Jakarta, malam hari. Orang orang berlalu lalang
sibuk menghabiskan uangnya demi keperluan hidupnya. Sonya, Jeje serta
Shanju, Bagi mereka bertiga, keluyuran ditempat umum sungguhlah
menyenangkan. Punya uang maupun tidak, mereka pasti akan berpetualang
dimalam hari untuk melepas kelelahan mereka sebagai Idol didunia
hiburan. Mereka bertiga memakai sweater serta topi untuk menutupi
sebagian wajahnya dari publik.
Dalam
langkahnya Sonya tersadar bahwa ada yang ganjil, lantas ia melirik kanan
kiri. "Tidak ada! Kemana perginya mereka?" Pekiknya dalam hati. Lantas
ia menengok kebelakang. "Syukurlah, mereka hanya sedang melihat lihat
toko pakaian dari luar." Sonya menghampiri Shanju serta Jeje dengan
wajah jengkel. "Kalian ini, jika ingin melihat lihat beritahu aku dulu,
bagaimana jika aku tersesat lalu ada yang menculik diriku."
"Menculik!
benar. Aku akan menculik gaun itu lalu aku akan memakainya." Kata Jeje
berceloteh. Shanju membalasnya. "Enak saja! Aku yang melihatnya lebih
dulu. Kecantikanku pasti akan naik 40% jika aku memakai gaun tersebut."
Kata Shanju sambil membayangkannya. "Benar kan, Son? Sonya?" Tambahnya.
Namun Sonya tidak menanggapinya. Lantas Shanju serta Jeje melihat kanan
kiri mencari keberadaan Sonya. "Dimana dia?" Kata Jeje.
Shanju
terkejut. "Li.. Lihat itu!" Katanya sambil menunjuk tangan kearah dalam
toko. Lalu Jeje menengoknya, Jeje pun sama terkejutnya. Mereka berdua
melihat Sonya yang sudah membungkus gaun yang Jeje serta Shanju incar.
"Apa apaan dia! Seenaknya saja!" Jengkel Jeje. "Bukan main kelakuannya saat ini." Shanju pun kesal.
Setelah
menyelesaikan pembayaran, Sonya berjalan keluar dengan wajah polosnya.
Sedangkan Shanju serta Jeje hanya bisa memanyunkan mulut melihat tingkah
Sonya.
"Penghianat!" Bisik Jeje pada Shanju yang sedang menyinggung Sonya.
Lantas Sonya
melirik keduanya dengan wajah kosong. "Ada apa dengan kalian? Maaf, aku
sudah duluan membeli gaun ini. Orang yang banyak bicara tidak akan
pernah menang, kalian tahu maksudku, kan? Tindakkanlah yang paling
berkuasa. hahaha?" Gelaknya.
Shanju punya
Ide, ia berbisik pada Jeje dengan wajah dongkol. "Ayo kita tinggalkan
dia diam diam. Lebih baik kita cari makan malam bersama." Jeje Setuju.
"Benar! Penghianat itu harus kita balas."
Saat ketiganya
kembali berjalan, Jeje serta Shanju memperlambat langkahnya. Kemudian...
Mereka berdua berbalik arah sambil berlari meninggalkan Sonya diam
diam. Saat perjalanan, Sonya tersadar kembali bahwa ada yang ganjil, ia
menengok kanan kiri. Seketika wajahnya jengkel. "Lagi! Kemana lagi
mereka pergi?" Pekiknya. Dan Sonya pun menengok kebelakang, ia melihat
Shanju serta Jeje yang berlari meninggalkannya.
"Hei, kalian! mau kemana? Jangan tinggalkan aku sendiri." Teriaknya.
Lantas mereka
berdua mengolok ngolok Sonya. "kejar kami kalau bisa. hahaha." Kata jeje
dengan lidah yang menjulur keluar. Sonya jengkel dan mengejar keduanya.
"Apa apaan kalian ini, awas kalau sampai ketemu. Akan aku jambak kalian
berdua!" Ancamnya daribalik nafas pengapnya.
BERSAMBUNG...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar